Batu Bara Membuat Eropa Terbelah, Harganya Nyungsep
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara melemah pada perdagangan perdana pekan ini. Pada perdagangan Senin (19/6/2023), harga batu bara kontrak dua bulan atau Juli di pasar ICE Newcastle ditutup di posisi US$ 132,8 per ton. Harganya melemah 0,19%. Harga tersebut adalah yang terendah sejak 1 Juni atau 12 hari perdagangan terakhir.
Penguatan juga memperpanjang tren negatif pasir hitam yang ambruk pada Jumat pekan lalu. Dalam dua hari perdagangan terakhir, harga batu bara anjlok 5%.
Harga batu bara melandai di tengah banyaknya kabar positif. Namun, ambruknya harga gas membawa pasir hitam terus melandai.
Harga gas alam Eropa EU Dutch TTF (EUR) melandai 0,31% ke 34,90 euro per mega-watt hour (MWh) kemarin.
Harga gas alam sempat melonjak pekan lalu karena kekhawatiran pasokan. Batu bara merupakan sumber energi alternatif dan harganya saling melengkapi.
Sejumlah kabar positif sebenarnya bisa menopang harga batu bara kemarin. Di antaranya adalah perkembangan di Eropa mengenai pembangkit batu bara serta gelombang panas di China.
Uni Eropa dilaporkan gagal mencapai kesepakatan terkait aturan baru mengenai pasar energi, terutama mengenai kelanjutan subsidi pembangkit listrik batu bara.
Sebagian anggota Uni Eropa menginginkan agar subsidi dihentikan tetapi rapat pada Senin (19/6/2023) terganjal keinginan Polandia untuk melanjutkan skema subsidi hingga 2028.
Polandia masih menggantungkan 70% produksi listriknya sehingga ingin subsidi dilanjutkan.
Sebaliknya negara-negara seperti Austria, Belgia, Jerman, dan Luxemburg keberatan dengan usul Polandia.
Salah satu usulan yang banyak ditentang adalah mengijinkan kapasitas pembangkit yang sudah beroperasi saat ini dibebaskan dari pembatasan emisi karbon jika mereka kesulitan menghasilkan emisi rendah.
Batu bara merupakan bahan bakar fosil dengan polutan terbesar sehingga sulit memenuhi batas emisi karbon.
Dengan belum adanya kesepakatan maka ada harapan permintaan batu bara di Polandia masih tinggi. Namun, jika Eropa memilih mengakhiri subsidi maka permintaan batu bara dari Eropa akan semakin jatuh sehingga harganya lesu ke depan.
Kabar positif lain datang dari China. Kota-kota di China seperti Beijing tengah menghadapi kenaikan suhu sekitar 4% di atas rata-rata.
Kenaikan suhu tidak hanya berdampak kepada meningkatnya permintaan listrik untuk pendingin ruangan. Suhu dan kekeringan juga membuat produksi listrik dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) menurun drastis.
Sepanjang Januari-Mei, produksi listrik China meningkat 5,3%atau sekitar 173 miliar kilowatt-hours (kWh). Pembangkit batu bara menyumbang 149 miliar kWh sementara dari PLTA malah turun 82 miliar kWh.
Dua provinsi penyumbang PLTA terbesar yakni Sichuan dan Yunnan dihadapkan pada kekeringan. Produksi listrik dari kedua provinsi pada Januari-Mei 2023 bahkan mencapai titik terendah sejak 2015.
Jika kondisi terus memburuk maka China bisa menaikkan impor sepanjang Juni tahun ini.
Impor batu bara Tiongkok pada Mei memang turun 2,7% dibandingkan April menjadi 39,58 juta ton. Namun, secara akumulatif, impor melonjak 89,6% menjadi 182 juta ton pada Januari-Mei 2023.
CNBC INDONESIA RESEARCH
research@cnbcidonesia.com
(mae/mae)