
Penyebab Rupiah KO Meski Suku Bunga di AS Diprediksi Tak Naik

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah melemah lagi melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (14/6/2023). Rupiah tercatat melemah,0,27% menjadi Rp14.895,00/US$ di pasar spot, melansir data Refinitiv. Pelemahan Rupiah ini beriringan sentimen pelaku pasar yang masih menanti keputusan The Fed dalam rapat FOMC Kamis dini hari nanti.
Ketidakpastian suku bunga The Fed disinyalir mendorong kekhawatiran pasar, sehingga mata uang rupiah mengalami pelemahan. Secara umum, pasar cenderung memiliki perilaku tidak menyukai ketidakpastian, sehingga mata uang Rupiah menunjukkan pelemahan.
Padahal, data inflasi Amerika Serikat (AS) menunjukkan adanya perlambatan inflasi. Berdasarkan hal tersebut, The Fed berpotensi dovish atau menahan kenaikan suku bunganya. Potensi ini didukung prediksi CME FedWatch bahwa lebih dari 97% suku bunga akan ditahan, tetapi diikuti oleh peluang 65% kenaikan suku bunga pada bulan Juli.
Namun, suku bunga Bulan Juli diproyeksikan meningkat, akibat inflasi AS masih sangat jauh dari target The Fed yakni di kisaran 2%.
Wisnu Varathan, Kepala Ekonomi Bank Mizuho, menyatakan FOMC cenderung akan menetapkan "jeda hawkish (peningkatan suku bunga)" pada bulan Juni. Varathan juga menambahkan masih ada kemungkinan The Fed kembali hawkish, namun siklus pengetatan suku bunga sudah mendekati puncak.
Ekspektasi mulai melunaknya The Fed juga diharapkan bisa mendatangkan capital inflow ke pasar keuangan dalam negeri. Dengan semakin kencangnya ekspektasi dipertahankannya suku bunga acuan maka rupiah juga diharapkan kembali menguat setelah pengumuman FOMC hari ini.
Secara historis, kebijakan dovish The Fed biasanya akan membuat dolar AS melemah dan membuat mata uang Emerging Market, termasuk Indonesia menguat.
Kekhawatiran pasar mengenai ketidakpastian global serta tren suku bunga tinggi juga diharapkan sudah mulai mereda jika The Fed menahan suku bunga.
Faktor ini sangat penting karena membuat perusahaan berani ekspansi karena dengan suku bunga yang lebih rendah maka ongkos pinjaman akan turun.
Selain itu, yield atau imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun turun ke 6,309% atau level terendahnya sejak Februari 2022 atau lebih dari setahun terakhir.
Yield yang turun menandai harga SBN yang semakin mahal karena investor mengincar SBN, terutama investor asing. Hal ini mendorong penurunan permintaan rupiah, sehingga menjadi salah satu faktor pelemahan rupiah.
Pelemahan Rupiah juga diikuti dengan mata uang Asia lainnya yang juga menunjukkan pelemahan, won Korea Selatan turun 0,3%, peso Filipina dan baht Thailand keduanya melemah 0,2%, ringgit Malaysia juga melemah 0,1%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mza/mza)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Nasib Suku Bunga Fed Bisa Makin Jelas Besok, Rupiah KO Lagi?