Jelang Rilis Data Inflasi China, Bursa Asia Dibuka Cerah
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik dibuka cenderung menguat pada perdagangan Jumat (9/6/2023), jelang rilis data inflasi China pada periode Mei 2023.
Per pukul 08:31 WIB, indeks Nikkei 225 Jepang melonjak 1,55%, Hang Seng Hong Kong menguat 0,44%, Shanghai Composite China dan Straits Times Singapura naik tipis 0,09%, ASX 200 Australia bertambah 0,3%, dan KOSPI Korea Selatan terapresiasi 0,66%.
Dari China, data inflasi pada periode Mei 2023 diperkirakan kembali naik. Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) pada bulan lalu diperkirakan naik menjadi 0,3% secara tahunan (year-on-year/yoy), dari sebelumnya pada April lalu yang hanya tumbuh 0,1%.
Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm), CPI Negeri Tirai Bambu pada bulan lalu diperkirakan tidak banyak berubah atau masih kontraksi 0,1%, seperti pada April lalu.
Adapun untuk inflasi berdasarkan producer price index (PPI) China pada bulan lalu diperkirakan membaik meski masih berkontraksi, yakni minus 4,3%, dari sebelumnya pada April lalu yang minus 3,6%.
Namun, jika inflasi China kembali menurun, maka hal tersebut bukan pertanda bagus. Inflasi konsumen China hampir tidak meningkat pada April lalu karena pengeluaran lokal mengalami pemulihan yang terbatas.
Ini akan mengancam terjadinya deflasi. Sebagai informasi, deflasi adalah kondisi di mana uang terlalu sedikit beredar di masyarakat, ditandai dengan harga-harga yang terus turun sepanjang waktu.
Belakangan kabar tak sedap memang datang dari China. Kinerja perdagangan raksasa global tersebut yang tercatat melorot sepanjang Mei 2023.
Berdasarkan dana bea dan cukai China yang dirilis Rabu pekan ini, ekspor Negeri tirai bambu turun 7,5% (yoy) sepanjang Mei. Senada dengan ekspor, realisasi impor juga turun 4,5% (yoy).
Hasil tersebut membuahkan tanda tanya besar terkait pemulihan ekonomi negara tersebut yang belum lama ini mencabut kontrol ketat terkait Covid-19. Pasalnya, lemahnya kinerja perdagangan juga menggambarkan permintaan global yang melemah di tengah tekanan suku bunga yang masih tinggi.
Di lain sisi, bursa Asia-Pasifik yang cenderung cerah terjadi menyusul cerahnya bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street kemarin.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup menguat 0,5%, S&P 500 terapresiasi 0,62%, dan Nasdaq Composite melesat 1,02%.
Saham Amazon mendorong saham teknologi berakhir lebih tinggi setelah komentar analis yang cenderung bernada bullish. Saham raksasa e-commerce itu melesat 2,5% dan membantu Dana SPDR Sektor Pilih Teknologi (XLK) naik lebih dari 1%.
"Untuk semua orang yang sangat prihatin dengan sempitnya reli, ada sedikit rotasi yang terjadi pada beberapa saham siklis dan nilai yang lebih rendah. ... Jadi secara keseluruhan, aktivitasnya cukup sehat," kata Ross Mayfield, analis strategi investasi di Baird dikutip dari CNBC International.
Investor tampaknya berada dalam pola bertahan sambil menunggu pertemuan kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang akan dilaksanakan pada 13 dan 14 Juni. Tanda-tanda ekonomi menunjukkan bahwa inflasi turun tipis, meski tetap di atas target The Fed sebesar 2%.
Sementara itu, data terbaru yang dirilis pada Kamis kemarin menunjukkan klaim pengangguran awal di AS mencapai level tertinggi sejak Oktober 2021, artinya ada potensi pelemahan pasar tenaga kerja. Kenaikan juga meningkatkan harapan bahwa The Fed akan menghentikan kampanye kenaikan suku bunga pada pertemuan minggu depan.
Namun, jeda yang kemungkinan bakal di ambil The Fed belum tentu berarti mengakhiri kampanye kenaikan suku bunganya. Terlebih, keputusan Bank of Canada untuk melanjutkan menaikkan suku bunga setelah jeda awal pekan ini dapat "menambah warna pada keputusan The Fed."
Berdasarkan CME FedWatch Tool, pasar menilai peluang sekitar 72% bahwa The Fed mempertahankan suku bunga stabil pada pertemuan berikutnya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd)