Rupiah Melemah 6 Hari Beruntun, Sempat Tembus Rp 15.000/US$
Jakarta, CNBC Indonesia - Hingga perdagangan Rabu (31/5/2023), rupiah masih belum mampu menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS). Sempat menembus ke atas Rp 15.000/US$, rupiah menutup perdagangan di Rp 14.985/US$, melemah 0,03% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Dengan demikian sudah melemah enam hari beruntun. Sepanjang Mei, Mata Uang Garuda sudah merosot 2,2%.
Pelemahan rupiah terjadi akibat pembahasan pagu utang Amerika Serikat (AS) yang telah menunjukkan titik terang. Presiden Joe Biden dan Ketua DPR Partai Republik Kevin McCarthy sepakat untuk menaikkan pagu utang. Kini investor sedang menanti persetujuan dari Kongres, sehingga pagu utang AS resmi naik.
Sentimen ini menjadi berita positif untuk mata uang dolar AS. Kenaikan plafon utang menandakan potensi AS mengalami gagal bayar semakin mengecil. Sehingga, pelaku pasar kembali percaya dan dolar terapresiasi.
Apresiasi dolar juga terlihat dari perbandingan mata uang China yang mengalami pelemahan dibanding dolar. Pukul 14:45 WIB mata uang yuan China melemah 2,8% menjadi CNY 7,11/US$.
Pelaku pasar juga memperhatikan kondisi manufaktur China yang masih bertahan di level kontraksi, nampak dari Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur yang terkontraksi menjadi 49,5 pada April 2023, dibanding bulan sebelumnya yang berada di 50.
Selain itu, Penurunan PMI manufaktur China, sebagai negara tujuan ekspor terbesar Indonesia, berpotensi menurunkan nilai ekspor Indonesia. Selain itu, batu bara sebagai komoditas ekspor andalan Indonesia terpantau jeblok 3,95%, menjadi US$ 135,1 per ton.
Hal ini akan berdampak pada penurunan neraca dagang Indonesia, baik dari sisi penurunan volume dan harga jual rata-ratanya (Average Selling Price/ASP).
Potensi penurunan neraca dagang akan menyebabkan cadangan devisa menurun, sehingga nilai tukar mata uang rupiah melemah.
Walaupun begitu, Bank Indonesia (BI) optimis stabilitas rupiah tetap terjaga berkat surplus transaksi berjalan dan ekspor yang kuat. Selain itu, aliran dana dari asing masih akan berlanjut sejalan dengan prospek ekonomi yang masih tumbuh positif dengan inflasi yang rendah dan prospek imbal hasil yang menarik.
Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Mei 2023, Perry Wajiyo selaku Gubernur BI menyampaikan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 masih akan tumbuh dalam rentang 4,5% - 5,3%.
Selain itu, dalam rapat tersebut BI juga memutuskan suku bunga ditahan untuk yang keempat kalinya sejalan dengan inflasi inti yang berada di posisi 2,83% pada April 2023, sesuai dengan target BI di 3% +/- 1%.
Sebagai informasi, untuk inflasi IHK hingga April 2023 masih berada di posisi 4,33%, BI yakin inflasi ini bisa turun sesuai target pada semester 2/2023 mendatang.
Perlu diketahui juga, dalam rangka menstabilkan nilai tukar rupiah BI telah menerbitkan time deposit valas dengan imbal hasil atraktif mulai 5,10% sampai dengan 5,50% dengan tenor penyimpanan bervariasi mulai satu bulan hingga enam bulan.
Harapannya, instrumen baru tersebut dapat menyimpan devisa hasil ekspor lebih lama di dalam negeri agar cadangan devisa tetap kuat dan stabilitas nilai tukar rupiah terus berlanjut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
research@cnbcindonesia.com
(pap/pap)