
Cek Sektor & Saham yang Bebani IHSG Hingga Anjlok 1% Lebih

Jakarta, CNBC Indonesia - Jelang libur panjang dalam rangka Hari Pancasila dan Waisak, koreksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau makin parah di sesi II Rabu (31/5/2023).
Pada awal perdagangan sesi II, IHSG ambles lebih dari 1 dan meninggalkan level psikologis 6.600. Mengutip data perdagangan Bursa Efek Indonesia, IHSG pada pukul 13.55 WIB tercatat turun 1,02% ke 6.568,707.
Nilai transaksi indeks pada sesi II hari ini mencapai sekitaran Rp 6,3 triliun dengan melibatkan 15 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 890.545 kali. Sebanyak 131 saham menguat, 410 saham melemah dan 191 saham stagnan.
Secara sektoral, energi kembali menjadi pemberat terbesar IHSG pada sesi II hari ini yakni sebesar 4,32%. Disusul sektor properti sebesar 1,71%, dan sektor bahan baku sebesar 1,37%.
Saham batu bara menjadi pemberat terbesar IHSG pada sesi II hari ini, di mana saham PT Bayan Resources Tbk (BYAN) menjadi saham yang paling memberatkan IHSG, yakni mencapai 20,5 indeks poin. Saham BYAN sendiri ambruk 6,69% ke posisi Rp 15.000/unit dan nyaris menyentuh auto reject bawah (ARB).
Lesunya saham-saham batu bara terjadi karena masih lesunya harga batu bara acuan dunia dan isu dunia yang terus memerangi climate change atau perubahan iklim.
Harga batu bara jatuh ke level terendah dalam hampir dua tahun terakhir. Pada perdagangan Selasa kemarin, harga batu bara kontrak dua bulan atau Juli di pasar ICE Newcastle ditutup ambruk 3,43% di posisi US$ 132,6 per ton.
Harga penutupan kemarin adalah yang terendah sejak 7 Juli 2021 atau 34 bulan terakhir atau hampir dua tahun. Bila dihitung sejak awal tahun maka harga batu bara sudah ambles 66%.
Selain itu, perkembangan isu climate change dan konversi energi menjadi EBT juga dapat membebani saham-saham batu bara.
Sementara itu, data aktivitas manufaktur China yang masih berkontraksi juga menjadi sentimen negatif pada hari ini.
Berdasarkan data dari NBS, manufaktur China yang tergambarkan pada Purchasing Manager's Index (PMI) periode Mei 2023 turun menjadi 48,8, dari sebelumnya di angka 49,2 pada April lalu. Hal ini menandakan bahwa aktivitas manufaktur China telah melambat dua bulan beruntun.
Aktivitas manufaktur memiliki titik tengah di 50, di bawah angka tersebut yakni zona kontraksi. Sedangkan di atas level 50 adalah level ekspansi.
Hal ini tentunya menjadi sentimen negatif karena China adalah mitra dagang utama Indonesia. Sehingga jika aktivitas manufaktur China lesu akan berpengaruh terhadap ekspor dan impor barang.
Selain itu, investor juga cenderung menahan selera risikonya di tengah proyeksi bahwa bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) berencana menaikkan lagi suku bunga acuannya pada pertemuan edisi Juni 2023.
Berdasarkan perangkat Fedwatch, keyakinan bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga melonjak menjadi sebesar 68,8%. Jumlah ini berbanding dari pekan lalu di mana para pelaku pasar masih optimis The Fed tidak akan menaikkan suku bunga.
Semakin tinggi suku bunga, maka risiko Amerika Serikat mengalami resesi semakin besar.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dua Hari di Zona Merah, IHSG Kembali Menguat