Sri Mulyani Ramal Harga Batu Bara Tahun Depan, Masih Jeblok?
Jakarta, CNBC Indonesia -Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan harga batu bara akan berada di kisaran US$ 155 per ton tahun depan. Namun, harga pasir hitam akan sangat ditentukan oleh perkembangan isu climate change dan konversi energi.
Sri Mulyani harga batu bara sangat fluktuatif sebelum dan selama pandemi Covid-19.
"Harga batu bara pernah mencapai US$ 70 kemudian tahun lalu pernah juga mencapai US$ 345. Tahun depan diperkirakan di US$ 155," tutur Sri Mulyani saat menggelar rapat kerja dengan Badan Anggaran, Selasa (30/5/2023).
Dia menambahkan harga batu bara akan tergantung pada dua hal yang berlawanan.
"Di satu sisi keinginan memerangi climate change akan memberikan sentimen negatif terhadap harga tetapi konversi energi tidak mungkin terjadi dalam waktu yang singkat karena membutuhkan teknologi yang tak mudah," imbuh Sri Mulyani.
Pergerakan harga batu bara sangat penting bagi Indonesia mengingat pasir hitam menyumbang ekspor sekitar 19%. Batu bara juga menyumbang penerimaan negara dalam jumlah besar melalui royalty hingga pendapatan pajak perusahaan.
Seperti diketahui, harga batu bara tengah ambruk. Pada perdagangan terakhir pekan ini, Jumat (26/5/2023), harga batu bara kontrak Juni di pasar ICE Newcastle ditutup di posisi US$ 140,65 per ton. Harganya menguat tipis 0,11%.
Kendati menguat, harga batu bara jeblok 11,74% sepekan. Artinya harga batu bara sudah melemah dalam lima pekan beruntun. Penurunan 11,74% juga menjadi yang terburuk sejak 3 Februari 2023 atau 16 pekan terakhir.
Harga penutupan pada Jumat kemarin juga berada di level terendahnya sejak awal November 2021 atau 29 bulan terakhir. Bila dihitung sejak awal tahun maka harga batu bara sudah ambles 63,9%.
Harga batu bara melemah karena permintaan yang melandai serta isu kencang mengenai energi bersih.
Dilansir dari The Times of India, India akan menutup 30 tambang batu bara dalam kurun waktu 3-4 tahun ke depan. Langkah ini diambil untuk memperluas kawasan hutan atau penyedia air sekaligus mengurangi emisi karbon.
India masih menggantungkan 75% produksi listriknya dari pembangkit batu bara. Namun, mereka juga akan terus meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan (EBT).
Badan Adminstrasi Infromasi Energi AS (EIA) juga memperkirakan kapasitas pembangkit listrik batu bara Amerika Serikat (AS) akan berkurang lebih dari 50% hingga 2050.
Pengurangan besar-besaran tersebut merupakan bagian AS untuk lebih menggunakan energi bersih dan mengurangi emisi karbon.
Rencana ini akan mengurangi permintaan terhadap batu bara sehingga harganya bisa tertekan ke depan. Skenario pengurangan akan bervariasi tetapi kemungkinan akan berkisar 52-88% menjadi hanya 97-23 gigawatts (GW).
Sumbangan listrik dari pembangkit batu bara ke total produksi listrik AS akan berkurang menjadi hanya 1-8% dari saat ini yang berada di angka 22%.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah AS, produksi listrik EBT bahkan mengungguli batu bara.
Produksi listrik AS mencapai 4, 090 triliun kilowatt hours (kWh) pada 2022. Dari jumlah sebanyak itu, pembangkit batu bara menyumbang 20%, turun dibandingkan 23% pada 2021.
Produksi listrik dari tenaga angin, matahari, dan air berkontribusi 21% pada produksi listrik AS tahun lalu. Jumlah tersebut naik dibandingkan pada 2021 yang tercatat sekitar 19%.
Kontribusi dari EBT diperkirakan akan terus meningkat sementara batu bara akan melandai ke 17% pada 2023. Produksi terbesar masih disumbang gas alam yakni sebesar 39% pada 2022 dan angkanya diperkirakan akan stabil pada tahun ini.
(mae/mae)