6 Emiten Batubara Ini Kompak Banting Setir ke Nikel, Kenapa?

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
19 May 2023 15:00
Pabrik pengolahan nikel di Sorowako, Provinsi Sulawesi Selatan. (REUTERS/Yusuf Ahmad)
Foto: Pabrik pengolahan nikel di Sorowako, Provinsi Sulawesi Selatan. (REUTERS/Yusuf Ahmad)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perkembangan industri nikel di Indonesia terbilang masih di tahap awal, dukungan pemerintah untuk nikel pun terus digencarkan mulai dari pelarangan ekspor sejak 1 Januari 2020 lalu hingga prospek hilirisasi yang terus berlanjut.

Pemain nikel juga mulai bertambah dari beberapa emiten batubara yang mulai banting setir sebagai langkah diversifikasi bisnis seperti PT Harum Energy Tbk (HRUM) yang membeli saham minoritas di Nickel Mines Ltd, perusahaan tambang Australia pada Juni 2020 lalu.

Selain itu, ada PT Indika Energy Tbk (INDY) yang tak mau kalah pada April 2021 lalu berekspansi membangun PT Solusi Mobilitas Indonesia (SMI) untuk membangun industri kendaraan listrik dengan merek Alva One.

Lainnya, ada PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA) ikut diversifikasi bisnis ke sektor kendaraan listrik dengan membangun perusahaan patungan dengan Gojek bernama PT Energi Kreasi Bersama.

Anak usaha PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) juga diketahui masuk ke industri nikel, yakni PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR) yang mengembangkan smelter aluminium, yang merupakan salah satu logam penting untuk transisi ke energi terbarukan dan kendaraan listrik (EV).

Terbaru, ada PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) mengungkapkan akan ada diversifikasi ke nikel dan saat ini diketahui sedang mencari tambang nikel yang potensial untuk diakuisisi 

"Kami berencana diversifikasi bisnis nikel, dan saat ini sedang mencari tambang untuk diakuisisi" ungkap Yulius Gozali, Direktur Komunikasi Korporat dan Hubungan Investor ITMG di Pondok Indah Mall Jakarta, Rabu (17/5/2023). 

Tidak menutup kemungkinan ke depan akan ada pemain batubara maupun di sektor lainnya yang potensi masuk ke nikel karena industrinya yang dinilai potensial sebagai diversifikasi bisnis mengingat nikel merupakan komoditas yang digunakan sebagai bahan baku baterai yang bisa mendukung ekosistem kendaraan listrik. Nikel juga bersifat magnetis pada suhu ruangan dan bisa didaur ulang, sehingga lebih ramah lingkungan.

Alasan lain nikel menjadi pilihan karena dari segi geografis Indonesia merupakan produsen bijih nikel terbesar dunia, menurut sumber kementerian ESDM pada 2019 produksi nikel dunia mencapai 2,6 juta ton Ni dan Indonesia menyumbang hingga 800 ribu ton Ni.

Cadangan nikel di Indonesia sebagian besar, mencapai 90% tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara mencapai 4,5 miliar ton dengan sumber daya diperkirakan mencapai 11,7 miliar ton, menurut Badan Geologi 2019.

Dilansir dari sumber Wood Mackenzie, biaya smelter Indonesia juga cukup rendah hanya sebesar 22 - 20 U$/ton. Artinya, margin keuntungan yang didapat bisa lebih tinggi dan bisa berdampak optimal ke total pendapatan.

Walaupun begitu, hingga saat ini penggunaan nikel masih didominasi untuk bahan baku stainless steel, tetapi prospek baterai akan terus berlanjut. Diperkirakan permintaan dari sektor baterai akan meningkat dari 163 ribu ton menjadi 1,22 ton Ni.


(tsn/tsn)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Saham Emiten Batu Bara Cerah Bergairah, Pesta Belum Usai?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular