IHSG Ambles 1% Lebih, Sektor Energi & Teknologi Jadi Penyebab

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
11 May 2023 14:07
Layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (10/5/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (10/5/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Koreksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau makin parah pada perdagangan sesi II Kamis (10/5/2023), meski sentimen pasar global pada hari ini cenderung positif.

Per pukul 13:50 WIB, IHSG ambles 1,12% ke posisi 6.735,15. IHSG kembali menyentuh zona psikologis 6.700 pada sesi I hari ini. Padahal akhir perdagangan kemarin, IHSG berhasil kembali ke zona psikologis 6.800.

Secara sektoral, sektor energi menjadi pemberat terbesar indeks pada sesi I hari ini, yakni hingga mencapai 2,51%. Sektor energi yang menjadi pemberat terbesar yakni dari batu bara.

Harga batu bara yang masih dalam tren bearish membuat sektor batu bara di Indonesia kembali merana dan berimbas ke saham-saham batu bara di Indonesia.

Pada perdagangan Rabu kemarin, harga batu bara kontrak Juni di pasar ICE Newcastle ditutup ambles 1,62% di posisi US$ 164,95 per ton.

Harga tersebut adalah yang terendah sejak 05 Januari 2022 (US$ 161,75 per ton) atau dalam 16 bulan terakhir.

Pelemahan kemarin juga memperpanjang tren pelemahan harga batu bara menjadi enam hari perdagangan. Dalam enam hari tersebut, harga batubara sudah jatuh 13,2%.

Sepanjang tahun ini, harga pasir hitam sudah jatuh 57,7% atau nyaris 60%.

Harga batu bara jatuh menyusul kabar buruk dari China dan Eropa.

Dari China, impor batu bara China melandai 1,2% dari 41,17 juta ton pada Maret menjadi 40,68 juta ton pada April 2023.

Secara keseluruhan, impor batu bara pada Januari-April 2023 melonjak 89% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Impor melonjak pada empat bulan pertama karena China memanfaatkan harga batu bara yang murah.

Harga batu bara domestik China akan menjadi penentu pergerakan harga batu bara ke depan. Meningkatnya produksi dalam negeri bisa semakin menekan harga batu bara lokal China.

Sedangkan di Eropa, permintaan batu bara pun belum akan naik seiring datangnya musim semi, memadainya pasokan, serta terus turunnya harga gas.

Eropa memasuki musim semi di mana suhu relatif bersahabat sehingga permintaan energi tidak akan melonjak. Suhu di beberapa wilayah Eropa memang akan lebih tinggi dalam beberapa hari ke depan.

Namun, pasokan batu bara yang memadai di berbagai pelabuhan Eropa membuat harga sulit melonjak.

Akibat masih lesunya harga batu bara, saham-saham batu bara RI pun terkoreksi cukup parah pada hari ini. Secara pergerakan harga, saham PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) menjadi yang paling parah koreksinya yakni mencapai 6,21% menjadi Rp 28.325/unit.

Adapun dari saham batu bara yang paling membebani IHSG pada hari ini yakni saham PT Bayan Resources Tbk (BYAN), di mana saham BYAN membebani IHSG hingga 8,6 indeks poin. Saham BYAN ambles 2,21% ke Rp 19.950/unit.

Selain sektor energi, dalam hal ini batu bara yang menjadi 'biang kerok' IHSG ambles, ada sektor teknologi yang juga membebani IHSG yakni mencapai 1,32%.

Pergerakan saham sektor teknologi di Indonesia dalam beberapa hari terakhir memang cenderung volatil. Selama kondisi global belum menentu, maka pergerakan saham teknologi sulit untuk diprediksi.

Adapun dari sahamnya, PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) menjadi saham yang paling parah koreksinya dan menjadi salah satu pemberat IHSG dari sektor tekonologi. Saham GOTO memberatkan indeks sebesar 5,7 indeks poin dan terkoreksi 1,69% menjadi Rp 116/unit.

Sentimen global pada hari ini cenderung bervariasi, di mana dari Amerika Serikat (AS), sentimen pasar cenderung positif, namun dari China cenderung kurang menggembirakan.

Dari AS, pada kemarin malam waktu Indonesia, data inflasi AS periode April 2023 resmi dirilis.

Hasilnya, inflasi Negeri Paman Sam pada bulan lalu melandai ke 4,9% secara tahunan (year-on-year/yoy), lebih baik dibandingkan periode sebelumnya dan ekspektasi pasar yang proyeksi tetap bertahan di 5% (yoy).

Sedangkan untuk inflasi inti AS tetap bertahan di 5,5% (yoy), sama seperti bulan sebelumnya. Data inflasi yang melandai bisa menjadi pertimbangan The Fed agar tidak terlalu agresif di pertemuan FOMC mendatang.

Namun dari China, data inflasinya terus menurun. Inflasi China pada bulan lalu turun ke 0,1% (yoy), dibandingkan periode sebelumnya yang masih tumbuh 0,7% (yoy) dan ekspektasi pasar di 0,4% (yoy).

Bahkan, secara bulanan China mengalami deflasi -0,1%. Ini menjadi perhatian yang cukup serius sebab China merupakan pasar ekspor terbesar bagi Indonesia.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dua Hari di Zona Merah, IHSG Kembali Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular