Jelang Rilis Data Inflasi China, Bursa Asia Dibuka Gak Kompak
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik dibuka cenderung bervariasi pada perdagangan Kamis (11/5/2023), jelang rilis data inflasi China pada hari ini dan setelah dirilisnya data inflasi Amerika Serikat (AS) kemarin.
Per pukul 08:30 WIB, indeks Nikkei 225 Jepang melemah 0,16%, Straits Times Singapura terkoreksi 0,28%, dan ASX 200 Australia terpangkas 0,19%.
Sedangkan indeks Hang Seng Hong Kong menguat 0,22%, Shanghai Composite China naik 0,16%, dan KOSPI Korea Selatan terapresiasi 0,45%.
Dari China, data inflasi pada periode April 2023 akan dirilis pada hari ini. Berbeda dengan kebanyakan negara, China justru menghadapi masalah inflasi yang terlalu rendah.
Pada Maret lalu, inflasi China hanya tumbuh 0,7% (yoy) menjadi yang terendah sejak September 2021. Rendahnya inflasi terjadi meski bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) memangkas suku bunganya dan menyuntikkan likuiditas ke perekonomian.
Inflasi tinggi bisa menggerus daya beli masyarakat, sebaliknya inflasi yang rendah bisa berarti daya beli masyarakat lemah atau masyarakat enggan berbelanja dan memilih saving. Sehingga, tingkat inflasi yang tepat, bisa merupakan indikator kesehatan dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam kasus China, masyarakatnya lebih memilih untuk menahan belanja. Artinya, masyarakat China masih belum optimistis terhadap kondisi perekonomian.
"Pandangan inti kami ekonomi China mengalami deflasi," kata Raymond Yeung, kepala ekonom untuk China di ANZ Research, sebagaimana dilaporkan CNN, Selasa (25/4/2023).
Hasil survei Reuters menunjukkan inflasi pada April yang dirilis pagi ini hanya tumbuh 0,4% (yoy). Jika sesuai prediksi, inflasi tersebut akan menjadi yang terendah sejak Maret 2021, atau saat China menghadapi masa sulit pandemi Covid-19.
Bursa Asia-Pasifik yang cenderung beragam terjadi di tengah menguatnya mayoritas bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street kemarin.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup turun tipis 0,09%. Namun untuk indeks S&P 500 menguat 0,45% dan Nasdaq Composite melesat 1,04%.
Berhasil menguatnya S&P 500 dan Nasdaq terjadi setelah data inflasi Negeri Paman Sam pada April lalu dirilis semalam.
Inflasi pada April dilaporkan tumbuh 4,9% (yoy) lebih rendah dari ekspektasi ekonom sebesar 5%. Inflasi inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan tumbuh 5,5%, lebih rendah dari bulan sebelumnya 5,6% tetapi sesuai ekspektasi.
Analis pasar senior Oanda, Ed Moya mengatakan ke depannya inflasi masih akan terus menurun, tetapi untuk mencapai 2% akan cukup sulit.
"Inflasi seharusnya terus menurun dalam beberapa bulan ke depan, tetapi untuk mencapai 2% lagi akan cukup sulit melihat pasar tenaga kerja yang masih kuat," kata Moya sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (11/5/2023).
Pada Jumat malam lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang April perekonomian Amerika Serikat mampu menyerap 253.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls/NFP). Angka tersebut jauh lebih tinggi dari estimasi Wall Street sebanyak 180.000 orang.
Tingkat pengangguran turun menjadi 3,4% dari bulan sebelumnya 3,5%. Padahal, Wall Street memproyeksikan naik menjadi 3,6%. Tingkat pengangguran 3,4% ini menyamai rekor terendah sejak 1969.
Kemudian rata-rata upah per jam naik 0,5% month-to-month, lebih tinggi dari ekspektasi 0,3% sekaligus tertinggi dalam satu tahun terakhir. Secara year-on-year, rata-rata upah tersebut naik 4,4% juga lebih tinggi dari ekspektasi 4,2%.
Dalam kondisi normal, pasar tenaga kerja yang kuat dengan rata-rata upah yang tinggi tentunya menjadi kabar baik. Tetapi, dalam kondisi "perang" melawan inflasi hal itu menjadi buruk bahkan bisa sangat buruk.
Rata-rata upah per jam yang masih naik tinggi tentunya membuat daya beli masyarakat tetap kuat. Alhasil, inflasi menjadi sulit turun.
Tetapi, data inflasi terbaru yang kembali melandai dan sesuai dengan prediksi pasar membuat ekspektasi kenaikan suku bunga bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada bulan depan menurun.
Data terbaru dari perangkat FedWatch milik CME Group menunjukkan pelaku pasar kini melihat probabilitas sebesar 9% The Fed akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bp) menjadi 5,25% - 5,5% pada 14-15 Juni mendatang.
Probabilitas tersebut menurun drastis ketimbang sebelum rilis data inflasi, sebesar 21%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)