
Nikkei-IHSG Sumringah, Saat Bursa Asia Lainnya Loyo

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik ditutup melemah pada perdagangan Selasa (9/5/2023), karena investor mencerna lebih lanjut data perdagangan China yang lebih rendah dari ekspektasi.
Hanya indeks Nikkei 225 Jepang dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang ditutup di zona hijau pada hari ini. Nikkei 225 ditutup melesat 1,01% ke posisi 29.242,801 dan IHSG berakhir naik 0,15% menjadi 6.779,98.
Sedangkan sisanya ditutup di zona merah. Indeks Hang Seng Hong Kong ditutup ambruk 2,12% ke 19.867,58, Shanghai Composite China ambles 1,1% ke 3.357,67, Straits Times Singapura melemah 0,45% ke 3.242,95, ASX 200 Australia terkoreksi 0,17% ke 7.264,1, dan KOSPI Korea Selatan turun 0,13% menjadi 2.510,06.
Dari China, data perdagangan pada April lalu cenderung mengecewakan, di mana ekspor dan impornya mengalami penurunan.
Berdasarkan data dari Biro Statistik Nasional China (NBS), impor China mengalami kontraksi 7,9% pada bulan lalu, dari sebelumnya pada Maret lalu yang berkontraksi 1,4%.
Sedangkan ekspor China pada bulan lalu tumbuh hanya 8,5%, dari sebelumnya tumbuh 14,8% pada Maret lalu.
Hal ini menunjukkan permintaan domestik tetap lemah, walaupun pembatasan Covid-19 telah dicabut oleh Presiden Xi Jinping. Ini menjadi tekanan pada ekonomi China yang tengah berjuang menghadapi pertumbuhan global yang melambat.
Meski data impor dan ekspor China cenderung mengecewakan, tetapi neraca perdagangan China pada bulan lalu tumbuh sebesar US$ 90,21 juta atau lebih tinggi dibandingkan realisasi pada Maret 2023 (month-to-month/mtm) sebesar US$ 88,19 juta.
Ekonom memperkirakan bahwa tidak ada pertumbuhan impor dan peningkatan ekspor sebesar 8%. Pejabat pemerintah juga terus memperingatkan bahwa lingkungan eksternal yang parah dan rumit meningkatkan risiko resesi bagi banyak mitra dagang utama China.
Penurunan impor menjadi tanda bahwa ekonomi dunia tidak dapat mengandalkan pertumbuhan domestik China.
Di lain sisi, investor cenderung wait and see menanti rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) periode April 2023 yang akan dirilis besok. Selain itu, mereka juga masih mencerna beberapa data tenaga kerja AS yang masih cukup positif.
Data tenaga kerja AS yang kuat memunculkan ekspektasi bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) masih akan melanjutkan periode kenaikan suku bunganya.
Jumat malam lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang April perekonomian AS mampu menyerap 253.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls/NFP). Angka tersebut jauh lebih tinggi dari estimasi Wall Street sebanyak 180.000 orang.
Tingkat pengangguran turun menjadi 3,4% dari bulan sebelumnya 3,5%. Padahal, Wall Street memproyeksikan naik menjadi 3,6%. Tingkat pengangguran 3,4% ini menyamai rekor terendah sejak 1969.
Kemudian rata-rata upah per jam naik 0,5% (month-to-month/mtm), lebih tinggi dari ekspektasi 0,3% sekaligus tertinggi dalam satu tahun terakhir. Secara tahunan (yoy), rata-rata upah tersebut naik 4,4% juga lebih tinggi dari ekspektasi 4,2%.
The Fed tidak secara gamblang menyebut akan menghancurkan pasar tenaga kerja, tetapi memang itu diperlukan untuk segera menurunkan inflasi. Ketika pasar tenaga kerja melemah maka daya beli masyarakat akan menurun, dan inflasi juga akan segera menyusul.
Nyatanya, data NFP sudah lebih tinggi dari ekspektasi dalam 13 bulan beruntun, yang menjadi rekor berdasarkan catatan Bespoke.
Pelaku pasar kini melihat ada probabilitas sebesar 8% The Fed akan kembali menaikkan suku bunga pada Juni mendatang. Padahal sebelum rilis data tenaga kerja, probabilitas tersebut nyaris nol, berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group.
Semakin tinggi suku bunga, maka risiko resesi yang semakin dalam menghantui AS. Dampaknya bisa meluas, sebab AS merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Investor Masih Lakukan Aksi Profit Taking, Bursa Asia Lesu Lagi
