
"Unlucky 13" Amerika, Bisa Picu Carut-marut Ekonomi Dunia!

Pada Kamis pekan lalu, pasar finansial dibuat lega setelah bank sentral AS (The Fed) mengindikasikan akan menghentikan kenaikan suku bunga. Namun, sehari berselang pasar kembali dibuat was-was tercermin dari pergerakan Wall Street Senin kemarin. Penyebabnya, pasar tenaga kerja Amerika Serikat yang masih sangat kuat.
Bespoke Investment Group bahkan menyebut "Unlucky 13", merujuk pada data penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls/NFP) yang lebih tinggi dari prediksi dalam 13 bulan beruntun.
"Dalam upayanya menurunkan inflasi, The Fed menjalankan misi untuk menghancurkan pasar tenaga kerja," tulis Bespoke Investment Group, sebagaimana dilansir Business Insider, Jumat (5/5/2023).
The Fed tidak secara gamblang menyebut akan menghancurkan pasar tenaga kerja, tetapi memang itu diperlukan untuk segera menurunkan inflasi. Ketika pasar tenaga kerja melemah maka daya beli masyarakat akan menurun, dan inflasi juga akan segera menyusul.
Nyatanya, data NFP sudah lebih tinggi dari ekspektasi dalam 13 bulan beruntun, yang menjadi rekor berdasarkan catatan Bespoke.
![]() |
Pelaku pasar kini melihat ada probabilitas sebesar 8% The Fed akan kembali menaikkan suku bunga pada bulan Juni. Padahal sebelum rilis data tenaga kerja, probabilitas tersebut nyaris nol, berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group.
Semakin tinggi suku bunga, maka risiko resesi yang semakin dalam menghantui Amerika Serikat. Dampaknya bisa meluas, sebab AS merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Apalagi, sektor manufaktur China kembali mengalami kontraksi.
Data dari pemerintah China menunjukkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur pada April tercatat sebesar 49,2, turun dari bulan sebelumnya 51,9 dan berada di level terendah sejak Desember 2021.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya adalah ekspansi.
Jika perekonomian AS merosot tajam, maka PMI manufaktur China bisa berkontraksi lebih dalam, sebab Amerika Serikat merupakan pasar ekspor terbesar China. Berdasarkan data dari World Top Exports, nilai ekspor China ke Amerika Serikat sebesar US$ 582,8 miliar pada 2022, atau sekitar 16% dari total ekspor China.
Ketika China ikut terseret kemerosotan Amerika Serikat, maka perekonomian dunia juga terkena imbasnya. Seperti diketahui, IMF menyebut China dan India merupakan motor perekonomian dunia tahun ini.
China diprediksi berkontribusi sebesar 34,9% dari pertumbuhan ekonomi global tahun ini, disusul India 15,4%. Jika perekonomian China tidak jadi cemerlang, perekonomian dunia tentunya juga ikut muram.
Artinya, "unlucky 13" di Amerika Serikat bisa membuat perekonomian dunia carut-marut lagi. Dampaknya ke pasar finansial tentunya juga akan terasa.
"Pasar saham (Wall Street) menguat pada Jumat, tetapi jangan berharap momentum tersebut bisa dipertahankan dalam jangka menengah. Kita masih melihat perekonomian melemah ke depannya dan masalah perbankan belum selesai. Ini akan membuat pasar saham benar-benar berjuang," kata Ed Moya, analis pasar senior di Oanda, sebagaimana dilansir Business Insider.
Sementara itu dari dalam negeri, Bank Indonesia akan merilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang bisa menggerakkan pasar finansial.
Pada awal April lalu, BI melaporkan IKK Maret 2023 sebesar 123,3, lebih tinggi dibandingkan dengan 122,4 pada Februari 2023. IKK di atas 100 berarti konsumen optimistis melihat perekonomian Indonesia. Semakin tinggi artinya semakin optimistis dan semakin banyak belanja yang akan dilakukan.
Hal ini bisa berdampak positif, sebab belanja konsumen merupakan motor penggerak perekonomian. Pada kuartal I-2023 kontribusinya mencapai 51,88%, bahkan hanya konsumsi rumah tangga yang tumbuh dibandingkan kuartal IV-2022, sektor lainnya mengalami kontraksi.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini
(pap/pap)