CNBC Insight

Pembayaran Non-Tunai Terbukti Bikin Manusia Boros, Kok Bisa?

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
Senin, 08/05/2023 07:00 WIB
Foto: Terlihat dilokasi para pedagang Bazar kini sudah bisa menerima pembayaran digital dengan memindai kode Quick Response Code Indonesian Standard atau QRIS. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Transaksi digital adalah keniscayaan bagi seluruh manusia di dunia masa kini. Bahkan, di masa depan seluruh transaksi diprediksi tidak akan lagi menggunakan uang tunai, tetapi dilakukan secara digital.

Sebagaimana diwartakan CNBC Indonesia pada 28 Maret 2023, di Indonesia sistem pembayaran digitalisasi terus meningkat baik secara volume dan nilai transaksinya di tahun 2022.

BI mencatat pada 2022 volume dan nilai transaksi pada QRIS meningkat signifikan menjadi 993 juta transaksi dengan nilai transaksi sebesar Rp 98,45 triliun. Kemudian pada digital banking mencapai 11,7 juta transaksi dengan nilai mencapai Rp 52,37 triliun.


Besarnya angka tersebut dapat jadi bukti bahwa transaksi elektronik sudah menjadi kelaziman di masyarakat Indonesia. Kemudahan dan kecepatan yang ditawarkan menjadi daya tarik sendiri bagi masyarakat agar pindah ke sistem elektronik.

Meski demikian, mengacu pada riset terbaru peneliti Seoul National University, Sun Young Ahn dan Youngwon Nam berjudul "Does mobile payment use lead to overspending? The moderating role of financial knowledge" (2022), ternyata ada risiko besar dari keunggulan pembayaran digital yang harus dibayar mahal oleh pengguna. Risiko tersebut adalah besarnya pengeluaran yang dapat merusak saldo rekening seseorang.

Hasil penelitian itu didapat dari hasil analisa kebiasaan belanja 21.000 orang Amerika Serikat berusia dewasa. Responden tersebut rupanya menghabiskan 34% lebih banyak uang dari pendapatan tahunan mereka saat menggunakan mobile payment, alias lebih boros.

Ada benarnya jika sistem ini memberikan kemudahan dan kenyamanan, tetapi di sisi lain sukses membuat orang-orang memiliki karakter belanja yang impulsif. Mereka rela menaruh uang dalam jumlah besar dan membeli barang tanpa direncanakan. Akibatnya, dalam riset itu tercatat 31% dari responden mengaku tersandung masalah saat membayar tagihan yang berakibat pada kesulitan mengelola keuangan setiap bulannya.

Menurut peneliti, 'biang kerok' dari permasalahan ini adalah minimnya literasi keuangan. Mengutip The Telegraph, terjadi perbedaan antara mereka berliterasi finansial tinggi dan yang tidak. Semakin tinggi pengetahuan tentang dunia finansial, maka pengguna akan lebih cerdas untuk menggunakan mobile payment. Aspek pengetahuan keuangan nyatanya terbukti memengaruhi karakter belanja seseorang, tetapi professor psikologi dari Widener University Ross Steinman punya jawaban menarik dari sisi psikologi.

Kepada CNBC International, Steinman menyebut bahwa seseorang yang memegang uang tunai memang lebih hemat karena ada tindakan fisik yang terjadi. Maksudnya, saat seseorang mengeluarkan uang dari dompet, maka akan terjadi perenungan ihwal betapa susahnya mendapatkan uang dengan nominal tersebut.

Alhasil, saat perenungan itu terjadi mereka jadi teringat sedang melakukan pembayaran dan bisa menahan nafsu untuk tidak belanja berlebih. Hal inilah yang kata Steinman telah hilang di pembayaran non-tunai, sehingga membuat orang belanja berlebih dan uangnya lebih cepat habis. Pembayaran non-tunai memang sudah melekat dan tidak bisa ditinggalkan dalam keseharian. Oleh karena itu, kita dituntut lebih bijak menggunakan uang agar terhindar dari karakter belanja impulsif.


(mfa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Prabowo Kocok Ulang Anggaran, Dana Investor Jumbo Lari Kemana?