Commodity News

Harga Minyak Mentah Labil, Naik Turun Kayak Roller Coaster

Susi Setiawati, CNBC Indonesia
Jumat, 14/04/2023 08:31 WIB
Foto: Kilang Balongan. (Doc PT Kilang Pertamina Internasional)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia masih bergerak volatile karena dua sentimen yang sama-sama kuat. 

 Pada pembukaan perdagangan Jumat (14/4/2023) pagi,  harga minyak mentah WTI menguat 0,43% ke posisi US$82,52 per barel. Kondisi ini berbanding terbalik dengan penutupan perdagangan Rabu (13/4/2023) di mana harga minyak WTI turun 1,3% ke posisi US$82,16 per barel.

Untuk harga minyak mentah Brent B pada perdagangan Jumat (14/4/2023) pagi juga menguat 0,38% di level US$86, 42 per barel pada harga berjalan. Pada penutupan perdagangan kemarin harga minyak ditutup melemah 1,4% di  posisi US$86,09 per barel.


OPEC melihat adanya risiko penurunan permintaan minyak pada musim panas.  Melemahnya permintaan bisa merusak rencana OPEC+ dalam mempertahankan harga minyak di level tinggi dengan cara memangkas produksi.

Di satu sisi, risiko permintaan adalah sentimen negatif bagi pergerakan minyak mentah sementara pemangkasan produksi menjadi sentimen positif.

Seperti diketahui, OPEC+ termasuk Rusia dan Arab Saudi mengumumkan pengurangan produksi minyak mentah sukarela baru pada 2 April yang berlaku mulai Mei.

Kebijakan OPEC sempat mendorong minyak brent melonjak hingga US$87 per barel dari kisaran US$80.

OPEC+ memberikan sedikit informasi tentang alasan pemotongan produksi sebagai "tindakan pencegahan" untuk mendukung stabilitas pasar. Beberapa delegasi OPEC mengatakan kepada Reuters bahwa mereka tidak mengetahui alasan pasti pengurangan produksi tersebut.

Namun, langkah OPEC bisa menjadi bumerang. Dalam laporan minyak bulanannya , OPEC justru memperkirakan pasokan minyak bisa lebih banyak dari proyeksi. Sebaliknya, pertumbuhan global menghadapi sejumlah tantangan.

OPEC juga mengatakan kenaikan permintaan musiman Amerika Serikat (AS) terancam turun karena melemahnya ekonomi Negara Paman Sam, imbas dari kenaikan suku bunga.

Bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) dalam risalah Federal Open Market Committee (FOMC) yang terbit kemarin juga memperkirakan ekonomi AS bisa masuk resesi pada tahun ini.

Pembukaan kembali China sdan pelonggaran kebijakan COVID-19 yang semula bisa mengerek permintaan juga belum terlihat. 

"Perlu dicatat bahwa potensi tantangan untuk pembangunan ekonomi global termasuk inflasi yang tinggi, pengetatan moneter, stabilitas pasar keuangan dan tingkat utang negara, perusahaan dan swasta yang tinggi," ucap OPEC.

Namun, OPEC mempertahankan proyeksinya bahwa permintaan minyak akan naik sebesar 2,32 juta barel per hari (bpd), atau 2,3%, pada tahun 2023.

OPEC juga mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2023 sebesar 2,6% pada tahun ini. Namun, pertumbuhan bisa lebih rendah jika dampak krisis perbankan AS meluas.

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.


(saw/saw)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Harga Komoditas Jeblok, Begini Nasib Saham Minyak