
IHSG Jeblok, Ini Penyebabnya

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan pada perdagangan sesi I hari ini (12/4/23). IHSG turun 0,28% menjadi 6.791,95 secara harian.
Sebanyak 290 saham melemah, 216 saham melemah sementara 210 lainnya mendatar. Hingga istirahat siang, nilai transaksi mencapai sekitar Rp 6,1 triliun dengan melibatkan 11,6 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 804 ribu kali.
Berdasarkan data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) via Refinitiv hampir tujuh dari total sektor berada di zona merah dengan sektor energi memimpin pelemahan 1,93%. Adapun pemberat utama gerak IHSG yakni berasal dari saham milik PT Bayan Resources dan PT Gojek Tokopedia masing-masing sebesar 13,5 dan 10 indeks poin terhadap IHSG.
Pekan ini, fokus utama pelaku pasar adalah data inflasi AS yang diprediksi naik pada Februari 2023. Indeks harga konsumen (CPI) meningkat 0,4% pada Februari, menempatkan tingkat inflasi tahunan sebesar 6%. CPI inti juga naik 0,5% pada Februari dan 5,5% dalam basis 12 bulan. Data ini menjadi indikator utama bagaimana The Fed akan mengambil langkah ke depannya.
Selain itu, kick-off musim laporan keuangan kuartal I 2023 dimulai di AS, dengan nama-nama seperti Delta Airlines, dan raksasa perbankan JPMorgan Chase, Citigroup hingga Wells Fargo yang akan mempengaruhi suasana Wall Street pekan ini. Sektor perbankan juga menjadi sorotan akibat kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) dan bank Wall Street yang kemungkinan akan melaporkan laba kuartalan yang lebih rendah.
Data perubahan stok minyak dan bensin AS yang dirilis EIA hingga laporan kebijakan moneter BoC Kanada juga turut mewarnai pergerakan pasar hari ini.
Dari dalam negeri, rilis penjualan ritel tahunan per Februari menjadi sentimen untuk pasar keuangan domestik. Ekonom memperkirakan, penjualan ritel akan turun 0,8%, usai turun 0,6% YoY pada Januari lalu.
Selain itu, IMF memangkas outlook pertumbuhan ekonomi global 2023 seiring kenaikan suku bunga yang 'mendinginkan' aktivitas ekonomi. IMF memperingatkan gejolak sistem keuangan yang parah dapat memangkas produksi ke tingkat yang mendekati resesi. IMF memperkirakan pertumbuhan PDB riil global sebesar 2,8% untuk 2023 dan 3,0% untuk 2024, yang turun tajam dari pertumbuhan 3,4% pada 2022 di tengah kebijakan moneter yang lebih ketat saat ini.
Dengan peningkatan volatilitas pasar keuangan baru-baru ini, IMF menyebut bahwa risiko terhadap pertumbuhan ekonomi terus menghantui, merujuk pada krisis sistem perbankan, Silicon Valley Bank (SVB) di AS dan 'kawin paksa' Credit Suisse dan rival UBS Group di Swiss, pada Maret lalu. "Hard landing", terutama untuk ekonomi maju, telah menjadi risiko yang jauh lebih besar. IMF menjelaskan bahwa pembuat kebijakan mungkin menghadapi trade-off yang sulit untuk menurunkan inflasi dan mempertahankan pertumbuhan sambil menjaga stabilitas keuangan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(Muhammad Azwar/ayh)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dua Hari di Zona Merah, IHSG Kembali Menguat