Sentimen Pasar Cerah, Harga Minyak Mentah 'Mendidih'
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah pada pekan ini terpantau cerah bergairah, melanjutkan penguatan dari pekan sebelumnya karena sentimen pasar sudah cukup membaik.
Sepanjang pekan ini, harga minyak kontrak jenis Brent melonjak 6,37% secara point-to-point (ptp) dibanding posisi penutupan pekan lalu ke US$ 79,77 per barel. Sedangkan untuk minyak kontrak jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) melejit 9,25% ke US$ 75,67 per barel pekan ini.
Pada perdagangan Jumat (31/3/2023) pekan ini, harga minyak acuan dunia terpantau cerah, di mana harga Brent menguat 0,63%, sedangkan WTI melesat 1,75%.
Banyaknya pemangkasan produksi minyak membuat kekhawatiran pasar akan penurunan harga minyak mentah dunia terus mereda. Apalagi, sentimen dari krisis keuangan dan positifnya data ekonomi juga mendongkrak pergerakan harga minyak.
Di Amerika Serikat (AS), penurunan stok minyak mentah yang tak terduga membatasi penurunan harga, dengan impor longsor ke posisi terendah dalam dua tahun, berdasarkan data Administrasi Informasi Energi AS (IEA).
Persediaan minyak mentah turun 7,5 juta barel menjadi 473,7 juta barel hingga pekan yang berakhir pada24 Maret. Sedangkan ekspektasi analis dalam jajak pendapat Reuters adalah kenaikan 100.000 barel.
Stok bensin turun 2,9 juta barel menjadi 226,7 juta barel, dibandingkan ekspektasi analis untuk penurunan 1,6 juta barel.
"Penguatan permintaan musiman pada akhir kuartal kedua diperkirakan akan mendorong harga (minyak) lebih tinggi dari level saat ini," kata analis dari National Australia Bank.
Sementara itu, pemotongan produksi minyak mentah Rusia yang lebih rendah dari target meredakan kekhawatiran pasokan.
Produksi minyak mentah Rusia turun sekitar 300.000 bpd dalam tiga minggu pertama bulan Maret, kurang dari target awal sebesar 500.000 bpd, kata seorang sumber kepada Reuters.
Selain dari pemangkasan produksi minyak mentah, sentimen positif lainnya datang dari data tenaga kerja AS, data pertumbuhan ekonomi AS, dan inflasi di AS yang kembali melandai.
Dari data tenaga kerja, data klaim tunjangan pengangguran dalam sepekan yang berakhir 25 Maret sebanyak 198.000 klaim, naik 7.000 dibandingkan pekan sebelumnya, dan sedikit di atas ekspektasi 195.000 klaim.
Klaim tunjangan pengangguran tersebut memberikan gambaran pasar tenaga kerja AS yang masih kuat meski bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) sangat agresif dalam menaikkan suku bunga.
Selain itu, data yang dirilis hari ini menunjukkan data produk domestik bruto (PDB) final AS kuartal IV-2022 tumbuh sebesar 2,6%, lebih rendah dari rilis sebelumnya 2,7%.
Di kuartal I-2023, pertumbuhan ekonomi AS diprediksi masih akan berakselerasi. Berdasarkan data GDPNow milik Fed Atlanta, PDB diprediksi tumbuh 3,2%.
Kuatnya perekonomian AS sebenarnya memberikan kebingungan di pasar. Dalam kondisi normal, hal tersebut bagus, tetapi saat "berperang" melawan inflasi tinggi akan menjadi buruk.
Namun, inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) periode Februari lalu yang meladai memberikan sentimen positif ke pasar.
Inflasi inti PCE tumbuh 0,3% pada Februari dari bulan sebelumnya, lebih rendah dari prediksi Dow Jones 0,4%. Sementara secara tahunan, tumbuh 4,6% juga lebih rendah dari prediksi 4,7%.
Inflasi PCE merupakan acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter. Pertumbuhan yang semakin rendah menguatkan ekspektasi The Fed tidak akan menaikkan suku bunga lagi.
Memangs saat PDB masih tumbuh tinggi, inflasi tinggi juga akan susah turun. Namun, dengan The Fed diprediksi tidak akan agresif lagi menaikkan suku bunga, bahkan banyak yang melihat tidak akan dinaikkan lagi, harapan bahwa AS lolos dari resesi semakin besar, meski masih menyisakan pertanyaan apakah inflasi bisa turun atau masih tetap bandel.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/luc)