Lagi Jaya-jayanya, Rupiah Bisa ke Bawah Rp 15.000/US$?

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah menguat 0,17% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 15.060/US$ Rabu kemarin. Sentimen pelaku pasar yang membaik, serta ekspektasi bank sentral AS (The Fed) akan memangkas suku bunganya tahun ini membuat rupiah menguat cukup tajam dalam dua hari dan semakin mendekati level psikologis Rp 15.000/US$.
Penguatan rupiah berpeluang berlanjut pada perdagangan Kamis (30/3/2023) melihat bursa saham AS (Wall Street) yang menguat tajam Rabu waktu setempat, yang menunjukkan sentimen pelaku pasar sedang bagus-bagusnya.
Sebagai mata uang emerging market, rupiah akan diuntungkan kala sentimen pelaku pasar sedang bagus.
Aliran modal pun kembali masuk ke pasar obligasi Indonesia. Sebelum Silicon Valley Bank (SVB) di Amerika Serikat kolaps pada 10 Maret lalu, sebenarnya terjadi capital outflow hingga Rp 8 triliun sejak akhir Februari, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR).
Pada Februari, capital outflow juga tercatat sekitar Rp 7,6 triliun. Namun, arah angin berbalik sejak SVB kolaps, hingga 27 Maret terjadi inflow nyaris Rp 9 triliun. Dengan demikian, sepanjang bulan ini hingga Senin lalu, aliran modal berbalik masuk sekitar Rp 780 miliar.
Capital inflow yang cukup besar pasca kolapsnya SVB tersebut menjadi salah satu faktor yang menjaga kinerja rupiah.
Untuk suku bunga The Fed, pelaku pasar melihat ada peluang akan dipangkas pada September. Hal ini terlihat dari perangkat FedWatch milik CME Group di mana pasar melihat suku bunga berada di level 4,5% - 4,75% dengan probabilitas sebesar 43%. Level tersebut 25 basis poin lebih rendah dari saat ini.
Ekspektasi pemangkasan suku bunga tersebut akan semakin menguat, atau justru mengendur pasca rilis data inflasi versi personal consumption expenditure (PCE) AS Jumat besok. Inflasi ini merupakan acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter, jika menunjukkan penurunan maka ekspektasi pemangkasan suku bunga akan semakin menguat, begitu juga sebaliknya.
Sebelum rilis data tersebut, rupiah berpeluang menguat meski masih belum akan jauh ke bawah Rp 15.000/US$.
Secara teknikal, rupiah saat ini berada di bawah rerata pergerakan 50 hari (Moving Average 50/MA 50), MA 100 dan MA 200. Sehingga ruang penguatan tentunya terbuka lebih besar.
Mata Uang Garuda juga berada sedikit di bawah Rp 15.090/US$ yang sebelumya menjadi support kuat.
Level tersebut merupakan Fibonacci Retracement 50% yang ditarik dari titik terendah 24 Januari 2020 di Rp 13.565/US$ dan tertinggi 23 Maret 2020 di Rp 16.620/US$.
Jika mampu bertahan di bawahnya, rupiah berpeluang menguji level psikologis Rp 15.000/US$. Ruang penguatan lebih jauh akan terbuka jika rupiah mampu menembus konsisten ke bawah level psikologis tersebut.
Sementara itu indikator Stochastic pada grafik harian mulai masuk wilayah jenuh jual (oversold).
![]() Foto: Refinitiv |
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Dengan stochastic masuk wilayah oversold, artinya ada risiko rupiah mengalami koreksi.
Jika kembali ke atas Rp 15.090/US$, rupiah berisiko melemah ke Rp 15.130/US$ sampai Rp 15.150/US$.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[Gambas:Video CNBC]
Volatilitas Tinggi, Rupiah Akhir 2022 Rawan ke Rp 16.000/USD?
(pap/pap)