
Bank Saudi Buka Suara, 166 Tahun Sejarah Credit Suisse Lenyap

Jakarta, CNBC Indonesia - Efek domino krisis keuangan perbankan regional AS yang dipicu oleh kegagalan Silicon Valley Bank (SVB) telah mencapai daratan Eropa. Bank raksasa Credit Suisse menjadi korban pertama karena kepercayaan investor terkikis setelah pernyataan negatif pemilik dari saham terbesar, Saudi National Bank (SNB).
SNB sendiri mayoritas sahamnya (37,24%) dimiliki oleh dana abadi Arab Saudi (Public Investment Fund/PIF). Sementara kepemilikan saham Credit Suisse oleh SNB mencapai 9,88%.
Saat ini bank yang telah berumur 166 tahun tersebut dalam proses akuisisi oleh rival domestik, UBS dan diperkirakan akan rampung akhir tahun. Akuisisi ini merupakan bentuk penyelamatan dari regulator Swiss demi menjaga nama baik perbankan negara tersebut setalah saham dan surat utang Credit Suisse mengalami tekanan dalam.
Kejatuhan Credit Suisse yang merupakan riak dari kegagalan SVB mulai terasa pertengahan Maret 2023 kala Bos Saudi National Bank dalam wawancara dengan Bloomberg TV mengatakan bahwa bank milik rakyat Saudi tersebut tidak mempertimbangkan untuk menambah investasinya ke Credit Suisse.
SNM bahkan tidak akan menambah dana dikarenakan alasan regulasi terkait kepemilikan saham bank atas bank lain yang tidak boleh melebihi 10%.
Komentar itu akhirnya membuat khawatir para investor. Pemegang saham Credit Suisse telah menyiratkan ketakutan selama berbulan-bulan akan kemampuan bank tersebut untuk menghasilkan uang dan khawatir bahwa mereka mungkin harus meminta dana dari pemegang saham lagi.
Hal tersebut berpotensi menjadi jauh lebih sulit jika pemegang saham terbesar bank mengatakan tidak akan mengambil bagian dalam penggalangan dana lebih lanjut.
Pimpinan Credit Suisse Axel Lehmann di sebuah konferensi di Arab Saudi menyebut bahwa modal dan neraca bank saat ini masih kuat. Dia juga optimis dan mengatakan prospek bantuan pemerintah bukan topik yang perlu dibicarakan.
Setelah komentar tersebut saham Credit Suisse tertekan dan memaksa pemerintah Swiss mengeluarkan pinjaman dana hingga 50 miliar Swiss Franc. Kekhawatiran investor sedikit mereda, dengan harga saham perusahaan kembali melonjak dan Credit Suisse memesan kembali surat utang milik perusahaan yang diperdagangkan di harga tertekan lewat bantuan dana dari pemerintah.
Akan tetapi ketenangan tersebut tidak berlangsung lama, investor kembali mengkhawatirkan kondisi likuiditas perusahaan yang sejak krisis 2008 telah berulang kali terjerat skandal dan membuat rugi perusahaan miliar dolar.
Akhirnya pemerintah Swiss memutuskan jalan terbaik penyelamatan adalah lewat akuisisi oleh sang rival UBS.
Pasca akuisisi yang dilakukan di harga diskon, SNB sebagai pemegang saham mayoritas mengalami kerugian hingga US$ 1 miliar (Rp 15 triliun). Terbaru, Chairman SNB yang memberikan pernyataan dalam wawancara pertengahan Maret lalu, Ammar Al Khudairy, baru-baru ini memutuskan untuk mengundurkan diri.
Credit Suisse adalah bank terbesar kedua di Swiss setelah UBS Group AG dan merupakan pemain utama di pasar keuangan internasional dengan operasi di seluruh Eropa dan Asia serta bisnis AS yang substansial. Bank tersebut memiliki aset sekitar US$ 580 miliar (Rp 8.700 triliun) pada akhir tahun 2022, lebih dari dua kali ukuran Silicon Valley Bank, yang bangkrut minggu lalu.
Credit Suisse dalam lima kuartal terakhir selalu mencatatkan kinerja keuangan negatif. Paling parah terjadi di kuartal ketiga 2022, di mana dalam tiga tahun dari Juli hingga September kerugian yang dialami perusahaan mencapai US$ 4,18 miliar (Rp 63 triliun). Mengutip data Refinitiv, kerugian Credit Suisse tahun 2022 lalu mencapai US$ 7,66 miliar (Rp 115 triliun).
(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kawin Paksa! UBS Mau Akuisisi Credit Swiss Rp45 T
