Breaking News: Rupiah Menguat Tajam, Tembus Rp 15.100/US$!

Market - Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
28 March 2023 09:03
Pekerja pusat penukaran mata uang asing menghitung uang Dollar AS di gerai penukaran mata uang asing Dolarindo di Melawai, Jakarta, Senin (4/7/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki) Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Membaiknya sentimen pelaku pasar membuat rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada pembukaan perdagangan Selasa (28/3/2023). Meski demikian, pelaku pasar masih berhati-hati, sebab ke depannya perekonomian dunia masih dipenuhi ketidakpastian.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,3% kemudian terakselerasi ke Rp 15.100/US$ atau menguat 0,36% pada pukul 9:01 WIB. 

Sentimen pelaku pasar yang cukup bagus, dilihat dari pergerakan bursa saham AS dan Eropa, di mana saham sektor perbankan menguat tajam.

Meski demikian, banyak pelaku pasar dikatakan masih enggan masuk ke aset berisiko dan perbankan pada khususnya. Sebab, tekanan besar masih bisa datang.

"Banyak investor masih enggan masuk ke sektor perbankan akibat khawatir tekanan besar masih akan datang. Mereka menaruh perhatian pada kemungkinan peningkatan beban yang akan ditanggung perbankan akibat pengetatan regulasi, dan perbankan yang lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit bisa memberikan dampak negatif ke pertumbuhan ekonomi," kata Russ Mould, direktur investasi di AJ Bell dalam sebuah catatan yang dikutip CNBC International, Senin (27/3/2023).

Kemungkinan terjadi resesi di Amerika Serikat juga dikatakan semakin dekat pasca gonjang-ganjing sektor perbankan. Hal ini bahkan diungkapkan oleh Presiden The Fed Minneapolis, Neel Kashkari dalam wawancaranya dengan CBS.

"Ini jelas membawa kita semakin dekat (dengan resesi) saat ini, apa yang belum jelas bagi kami saat ini adalah seberapa banyak tekanan perbankan yang bisa membuat krisis kredit meluas. Kemudian, krisis kredit akan memperlambat perekonomian," kata Kashkari sebagaimana dilansir CNBC International.

Alarm resesi Amerika Serikat kembali berbunyi nyaring. Imbal hasil (yield) obligasi kembali mengalami inversi, yang menjadi alarm tersebut.

Dalam kondisi normal, yield obligasi jangka pendek akan lebih rendah dari jangka panjang. Sementara saat inversi kebalikannya, yield obligasi jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang.

Di Amerika Serikat, inversi terjadi antara yield Treasury tenor 2 tahun dengan tenor 10 tahun

Inversi bisa dilihat dari spread (selisih) yield tenor 10 tahun dengan 2 tahun. Ketika spread-nya negatif artinya mengalami inversi. Pada Selasa (7/3/2023) selisihnya sempat menembus -103,5 basis poin, menjadi yang terbesar dalam lebih dari empat dekade terakhir, berdasarkan data Refinitiv.

Kali terakhir selisih sebesar 100 basis poin atau 1% terjadi pada 1981, Amerika Serikat dalam kondisi yang sama mengalami inflasi tinggi. Saat itu, resesi akhirnya terjadi dan tingkat pengangguran meroket.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

Volatilitas Tinggi, Rupiah Akhir 2022 Rawan ke Rp 16.000/USD?


(pap/pap)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading