
Bursa Asia Berakhir Bergairah, Sayang IHSG Gak Ikutan

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik ditutup menguat pada perdagangan Rabu (15/3/2023), karena investor optimis bahwa risiko penularan dari krisis Silicon Valley Bank (SVB) dapat diatasi.
Indeks Nikkei 225 Jepang ditutup naik tipis 0,02% ke posisi 27.229,5, Hang Seng Hong Kong melonjak 1,52% ke 19.539,869, Shanghai Composite China menguat 0,55% ke 3.263,31, Straits Times Singapura melesat 1,38% ke 3.172,92, ASX 200 Australia terapresiasi 0,78% ke 7.063,4, dan KOSPI Korea Selatan melompat 1,46% menjadi 2.383,16.
Namun, untuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,21% menjadi 6.628,14.
Dari China, output industri China terpantau naik 2,4% pada periode Januari hingga Februari 2023, data resmi menunjukkan.
Selain itu, penjualan ritel China pada periode Januari-Februari 2023 juga naik 3,55%, sesuai dengan ekspektasi pasar sebelumnya.
Dengan data output industri dan penjualan ritel China yang kembali naik, maka sektor industri dan konsumsi di China makin membaik, menandakan bahwa perekonomian China terus bertumbuh setelah bergulat dengan Covid-19 selama dua tahun lebih.
Sementara itu dari Jepang, pejabat bank sentral (Bank of Japan/BoJ) memperdebatkan kelayakan terkait kontrol kurva imbal hasil (yield curve control/YCC) obligasi Jepang dengan salah satu anggota mengatakan harus menjaga "berbagai opsi dalam pikiran" pada arah kebijakan moneter di masa depan.
Sembilan anggota dewan BoJ menyimpulkan bahwa masih terlalu dini untuk keluar dari kebijakan moneter ultra-longgar saat ini dengan inflasi yang belum mencapai target 2% secara berkelanjutan.
Tetapi, banyak anggota dewan mengatakan distorsi dalam kurva imbal hasil, yang sebagian disebabkan oleh pembelian obligasi agresif BoJ untuk mempertahankan batas imbal hasil, belum diperbaiki, menggarisbawahi kekhawatiran mereka atas meningkatnya biaya pelonggaran moneter yang berkepanjangan.
"Di beberapa titik di masa depan, BoJ harus melakukan pemeriksaan terhadap kebijakannya untuk menentukan keseimbangan manfaat dan biayanya. Untuk saat ini, bagaimanapun, adalah tepat untuk mempertahankan pelonggaran moneter," kata salah satu anggota.
"BoJ harus mengingat berbagai opsi dalam memandu kebijakan moneter. Tetapi dengan ekonomi luar negeri yang melambat sekarang, tidak tepat untuk terburu-buru keluar dari kebijakan ultra-longgar," kata anggota dewan lainnya.
Pada pertemuan Januari lalu, BoJ mempertahankan suku bunga yang sangat rendah, termasuk batas imbal hasil obligasi yang sulit dipertahankan, menentang ekspektasi pasar bahwa BOJ akan menghentikan program stimulus besar-besaran di tengah meningkatnya tekanan inflasi.
Di lain sisi, investor berharap bahwa risiko penularan dari krisis Silicon Valley Bank (SVB) di Amerika Serikat (AS) dapat diatasi dan tidak berdampak cukup lama di global.
Selain itu, optimisme pasar juga muncul setelah rilis data inflasi AS terbaru terpantau sesuai dengan ekspektasi pasar.
Departemen Tenaga Kerja AS pada Selasa malam waktu Indonesia mengumumkan bahwa inflasi AS mencapai 0,4% (month-to-month/mtm) pada Februari 2023.
Inflasi melandai tipis dibandingkan pada Januari 2023 yang tercatat 0,5%.
Secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi menembus 6% pada bulan lalu atau melandai dibandingkan 6,4% pada Januari 2023. Inflasi pada Februari tahun ini adalah yang terendah sejak September 2021.
Sementara itu, inflasi inti masih sangat tinggi yakni 5,5% (yoy) pada Februari 2023. Inflasi inti hanya turun tipis dibandingkan pada Januari yang tercatat 5,6%.
Inflasi akan menjadi pertimbangan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam menentukan kebijakan suku bunga pada 21-22 Maret mendatang.
Dengan inflasi yang melandai dan adanya krisis SVB, pelaku pasar kini meyakini jika The Fed tidak akan agresif lagi. The Fed diperkirakan hanya akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bp).
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Investor Masih Lakukan Aksi Profit Taking, Bursa Asia Lesu Lagi
