Inflasi di Amerika "Bandel", Rupiah Melemah Lagi

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
27 February 2023 15:22
Petugas menghitung uang  dolar di tempat penukaran uang Dolarindo, Melawai, Blok M, Jakarta, Senin, (7/11/ 2022)
Foto: Ilustrasi Dolar dan Rupiah. (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (27/2/2023). Bank sentral AS (The Fed) yang diperkirakan akan menaikkan suku bunga lebih agresif memberikan tekanan bagi rupiah.

Melansir data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan di Rp 15.265/US$, melemah 0,3% di pasar spot.

Inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) kembali naik pada Januari. Inflasi ini merupakan acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter, dan terbukti "bandel" alias sulit turun.

Inflasi PCE dilaporkan naik menjadi 5,4% (year-on-year/yoy) dari sebelumnya 5,3%, sementara inflasi inti PCE tumbuh 4,7% dari sebelumnya 4,6%.

Kenaikan tersebut dipicu oleh belanja konsumen pada bulan Januari yang melonjak ke level tertinggi dalam dua tahun terakhir.

Kenaikan belanja konsumen tersebut menjadi dilema, di satu sisi bagus untuk perekonomian, di sisi lain inflasi jadi sulit turun, bahkan malah kembali naik.

Hal ini membuktikan Amerika Serikat memang perlu mengalami resesi, sehingga pasar tenaga kerja melemah daya beli masyarakat menurun sehingga inflasi pada akhirnya melandai.

Departemen Tenaga Kerja AS pada awal bulan ini melaporkan sepanjang Januari perekonomian Paman Sam mampu menyerap 517.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll), jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 260.000 orang.

Tingkat pengangguran pun turun menjadi 3,4% dari sebelumnya 3,5%. Persentase penduduk yang tidak bekerja tersebut berada di posisi terendah sejak Mei 1969.

Kemudian, rata-rata upah per jam masih tumbuh 4,4%year-on-year, lebih tinggi dari prediksi 4,3%.
Alhasil, pasar memperkirakan suku bunga The Fed bisa lebih tinggi lagi guna meredam inflasi.

CEO JPMorgan, Jamie Dimon pada Januari lalu bahkan menyatakan The Fed mungkin perlu menaikkan suku bunga (Federal Funds Rate/FFR) hingga ke level 6% untuk melawan inflasi. 

"Inflasi tidak akan turun seperti yang diharapkan orang," katanya. "Tapi yang pasti akan turun sedikit."

Jika kondisinya masih urung membaik, Dimon berpendapatan The Fed dapat mulai menaikkan suku bunga pada kuartal keempat dan menyebut kenaikan suku bunga acuan tersebut "mungkin saja 6%."

Suku bunga 6% akan menjadi yang tertinggi sejak 2021. Jika itu terjadi, pasar finansial global akan mengalami "Gempa".

Aliran modal bisa kembali keluar dari negara emerging market seperti Indonesia menuju Amerika Serikat. Dolar AS menjadi perkasa lagi dan nilai tukar mata uang lainnya berisiko kembali terpuruk.

Pelaku pasar pun mulai melihat risiko FFR bisa mencapai 6% meski probabilitasnya masih kecil. Berdasarkan perangkat FedWacth milik CME Group, pelaku pasar melihat suku bunga mencapai level tersebut pada Juli dengan probabilitas sebesar 7%.

Memang sangat kecil, tetapi probabilitas suku bunga mencapai 5,5% - 5,75% cukup besar, sekitar 31%. Itu sudah lebih tinggi 50 basis poin ketimbang proyeksi yang diberikan The Fed akhir tahun lalu 5% - 5,25%.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Penyebab Rupiah Menguat 4 Pekan Beruntun, Terbaik di Asia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular