CNBC Insight

Kisah Debt Collector Tempo Dulu: Sosok Paling Dibenci Pribumi

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
Selasa, 28/02/2023 10:05 WIB
Foto: Infografis/Disambangi Debt Collector? Cek Dulu Nih!/Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Debt Collector atau penagih utang barangkali menjadi salah satu profesi paling tidak disukai masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang memiliki utang. Banyak penduduk yang takut didatangi oleh mereka karena tidak mampu membayar kewajiban utang.

Selain itu mereka juga punya citra buruk karena kerap menggunakan kekerasan dalam menagih utang. Sebut salah satu kasus yang ramai ketika mobil Seleb TikTok Clara Shinta diambil paksa beberapa hari lalu.

Fenomena seperti ini bukan hal yang baru. Begitu juga dengan profesi penagih utang. Keduanya berjalan beriringan sepanjang sejarah dengan mekanisme perekonomian dan bisnis. Ketika ada peminjaman pasti ada penagihan.


Jika melihat pada sejarahnya, debt collector adalah konsep modern yang terbentuk dari adanya sistem perbankan. Pada masa klasik, atau kerajaan-kerajaan nusantara, tidak ada istilah debt collector, melainkan penagih utang. Biasanya ini terjadi pada rakyat biasa yang meminjam uang kepada para pembesar, seperti bangsawan dan keluarga kerajaan.

Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Jaringan Asia (1996), hubungan antara orang yang berutang dan penagih utang menggambarkan terbentuknya sistem ketergantungan di masyarakat Nusantara. Ketergantungan ini menghasilkan pembentukan elite atau golongan baru yang mengandalkan pengumpulan kekayaan benda bergerak.

Cerita penagih utang selalu ada setiap zaman dan sama seperti sekarang, kasus penagihan utang pun cukup ditakuti masyarakat saat itu. Masih mengutip Denys Lombard, pada masa kekuasaan Kesultanan Malaka (1400-1511) ada Undang-Undang Malaka yang mengatur sistem utang-piutang.

Dalam aturan tersebut para penagih utang berhak meminta kekayaan pemilik utang untuk diberikan seluruhnya guna melunasi utang. Lalu, bagi yang tak mampu membayar utang diharuskan menjadi budak dari penagih utang tersebut. Jika lolos dari jeratan budak, maka harus ada jaminan dari pihak ketiga yang mampu melunasi utang. 

Sedangkan pada masa kolonial, ketika ekonomi pribumi terhimpit oleh jahatnya ekonomi kolonial, banyak dari mereka yang meminjam uang. Pada 1648 ada berkas kolonial yang menceritakan kaburnya orang China dari  Batavia (Jakarta) untuk menghindari penagih utang dan mencari perlindungan di pelabuhan pesisir.

Mekanisme utang-piutang di masyarakat semakin parah ketika pemerintah kolonial menerapkan ordonansi pajak tahun 1819 yang mengharuskan rakyat pribumi membayar pajak lahan. Karena tak mampu bayar, rakyat pun banyak yang mengutang. Menurut Abdul Wahid dalam Politik Perpajakan Kolonial di Indonesia (2021), utang-utang kepada para rentenir China itu membuat mereka tak bisa keluar dari jeratan kemiskinan. 

Sementara dari Deli, Sumatera Utara, menurut Hokkop Nababan dalam Sejarah Sosial Masyarakat Perkebunan di Deli (1870-1945), pernah ada penagih utang yang tewas di tangan para petani. Petani tersebut tidak mau ditagih utangnya, sehingga mereka terpaksa membunuh penagih utang. 


(mfa/mfa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Investasi Yang Bisa Dilirik Saat Perang & Suku Bunga Ditahan