
Ada 'Badai' Dari Barat, Bursa Asia Dibuka Merana Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik terpantau melemah pada perdagangan Rabu (22/2/2023), menyusul koreksi bursa saham Amerika Serikat (AS) kemarin karena sentimen suku bunga yang lebih tinggi menekan sentimen pasar.
Per pukul 08:30 WIB, indeks Nikkei 225 Jepang ambles 1,29%, Shanghai Composite China melemah 0,44%, Straits Times Singapura turun tipis 0,09%, ASX 200 Australia terkoreksi 0,26%, dan KOSPI Korea Selatan ambrol 1,12%.
Hanya indeks Hang Seng Hong Kong yang menguat pada pagi hari ini, itupun menguat tipis-tipis. Hang Seng terpantau naik tipis 0,06% per pukul 08:30 WIB.
Pergerakan bursa Asia-Pasifik pada hari ini cenderung mengikuti pergerakan bursa AS, Wall Street kemarin yang ditutup melemah karena sentimen suku bunga yang lebih tinggi.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup ambruk 2,06%, S&P500 anjlok 2%, dan indeks NASDAQ Composite longsor 2,5%.
Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor 10 tahun naik menjadi 3,9%, sedangkan yield Treasury tenor 2 tahun naik menjadi 4,69%. Yield yang naik karena para investor bergulat dengan data inflasi yang lebih panas dari perkiraan.
"Saya pikir itu adalah pasar ekuitas yang akhirnya menangkap apa yang dikatakan pasar Treasury selama beberapa minggu," kata kepala strategi pasar B. Riley Wealth Art Hogan.
Para pelaku pasar khawatir inflasi yang "membandel" akan menyebabkan bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed) mempertahankan suku bunga lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama, yang dapat menyebabkan ekonomi Negeri Paman Sam akan mengalami resesi.
Di sisi lain, tanda-tanda ekonomi AS makin solid tergambar pada pembacaan awal aktivitas manufaktur Februari 2023 yang naik ke angka 47,8. Posisi ini lebih tinggi dari bulan sebelumnya yakni 46,9 dan lebih tinggi dari ekspektasi 47,1.
Data aktivitas ini semakin melengkapi rilis data sebelumnya yang mengindikasikan bahwa ekonomi Paman Sam masih kuat. Dampaknya adalah kebijakan suku bunga The Fed.
Sebelumnya, AS dilaporkan mampu menyerap 517.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian, jauh lebih tinggi dari sebelumnya yakni 260.000 orang. Tingkat pengangguran pun turun menjadi 3,4% dan merupakan angka terendah sejak Mei 2969.
Kemudian, rata-rata upah per jam masih tumbuh 4,4% (year-on-year/yoy), lebih tinggi dari prediksi 4,3%.
Masalahnya data-data yang positif ini membuat para pelaku pasar tidak tenang. Pasalnya ekonomi yang solid dipandang menjadi momentum bagus untuk terus menaikkan suku bunga dalam upaya menurunkan angka inflasi.
Goldman Sachs dan Bank of America memperkirakan masih akan ada tiga kenaikan suku bunga lagi masing-masing naik 25 bp.
Selaras dengan Sachs, pasar kini melihat The Fed akan menaikkan suku bunga tiga kali lagi pada Maret, Mei dan Juni masing-masing sebesar 25 basis poin hingga menjadi 5,25% - 5,5%. Ini artinya pasar melihat suku bunga bisa lebih tinggi dari proyeksi yang diberikan The Fed 5% - 5,25%.
Para pelaku pasar saat ini fokus pada The Fed yang akan digelar pada Rabu waktu setmpat dan dijadwalkan untuk merilis risalah dari pertemuan 31 Januari dan 1 Februari. The Fed berpotensi menaikkan suku bunga kembali sebesar 25 basis poin (bp) setelah pertemuan itu.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Investor Masih Lakukan Aksi Profit Taking, Bursa Asia Lesu Lagi
