Awal Pekan Bursa Asia Dibuka Merana, Waspada Buat IHSG

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
Senin, 13/02/2023 08:50 WIB
Foto: Bursa China (Reuters/Aly Song)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik dibuka cenderung melemah pada perdagangan Senin (13/2/2023), karena investor cenderung wait and see jelang perilisan data ekonomi penting terutama data inflasi Amerika Serikat (AS) periode Januari 2023.

Indeks Nikkei 225 Jepang dibuka turun 0,12%, Hang Seng Hong Kong ambles 1,34%, Shanghai Composite China terkoreksi 0,11%, Straits Times Singapura terpangkas 0,43%, ASX 200 Australia menurun 0,2%, dan KOSPI Korea Selatan terdepresiasi 0,54%.

Dari Singapura, data pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) final periode kuartal IV-2022 telah dirilis pada pagi hari ini, yang tumbuh sedikit lebih rendah dari perkiraan awal.


Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura (MTI), PDB Singapura pada kuartal IV-2022 hanya tumbuh 2,1% (year-on-year/yoy), sedikit lebih rendah dari data awal yang tumbuh 2,2% karena konstruksi yang sedikit lebih lemah dan pertumbuhan sektor jasa yang juga cenderung melambat.

Angka tersebut juga lebih rendah dari prediksi pasar dalam polling Reuters yang memperkirakan PDB Negeri Singa akan tumbuh 2,3% (yoy) pada kuartal IV-2022.

Adapun sepanjang tahun 2022, PDB Singapura tumbuh 3,6%, juga lebih rendah dibandingkan perkiraan awal yang tumbuh 3,8%.

Sejak April tahun lalu, Singapura telah mencabut sebagian besar pembatasan Covid-19 dengan banyak acara internasional kembali ke negara kota, menarik wisatawan dan bisnis. Pembatasan yang tersisa akan dilonggarkan mulai Senin hari ini.

Singapura telah melihat beberapa tanda-tanda penurunan tekanan harga dalam beberapa bulan terakhir tetapi inflasi masih tetap tinggi di sekitar 5%.

"Sikap kebijakan moneter bank sentral saat ini tetap tepat," kata Edward Robinson, Wakil Direktur Pelaksana di Otoritas Moneter Singapura (MAS). Pertemuan kebijakan moneter berikutnya diprediksi akan digelar pada April mendatang.

Pergerakan bursa Asia-Pasifik yang cenderung terkoreksi terjadi di tengah bervariasinya pergerakan bursa saham AS, Wall Street pada perdagangan akhir pekan lalu.

Pada Jumat pekan lalu, indeks Dow Jones ditutup menguat 0,5% dan S&P 500 bertambah 0,22%. Namun untuk indeks Nasdaq Composite ditutup melemah 0,61%.

Imbal hasil (yield) obligasi tenor 10 tahun AS meningkat ke posisi tertinggi dalam sebulan terakhir setelah obligasi dengan tenor 30 tahun melemah pada perdagangan Kamis lalu, yang memberikan sinyal adanya pelemahan permintaan.

"Investor bertanya-tanya apa yang dikatakan pasar obligasi kepada kita bahwa indikator ekonomi tidak memberi tahu kita," kata Sam Stovall, kepala strategi investasi di CFRA Research.

Sementara reli saham energi akibat lonjakan harga minyak mentah dunia mampu mendorong laju Dow Jones dan S&P500.

Meskipun demikian, investor masih terombang-ambing akan kepastian sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) terkait kebijakan suku bunga.

Ekonomi AS yang solid serta pertumbuhan data tenaga kerja yang bertumbuh kuat membuat pejabat The Fed yang berpotensi kembali menaikkan suku bunganya dengan agresif kembali terbuka.

Sebelumya inflasi yang mereda memberikan harapan bahwa The Fed akan lebih 'kalem' dalam menaikkan suku bunga acuan.

Alhasil, kini investor di global akan menanti rilis data inflasi AS periode Januari 2023 yang akan dirilis pada Selasa besok waktu setempat.

Konsensus Trading Economics memperkirakan inflasi AS diprediksi melambat menjadi 6,2% secara tahunan (yoy) pada bulan lalu. Angka ini turun dari 6,5% pada Desember 2022.

Meski demikian, secara bulanan (month-to-month/mtm), inflasi AS diprediksi naik 0,5% pada bulan lalu atau lebih cepat dari catatan Desember 2022 di angka 0,1%. Kenaikan bulanan tersebut terjadi salah satunya didorong oleh permintaan dan konsumsi yang lebih kuat akibat libur natal dan tahun baru.

CNBC INDONESIA RESEARCH


(chd/chd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Bursa Asia Anjlok Usai Trump Umumkan Tarif Impor Jepang-Korsel