
Awal Pekan Bursa Asia Merana, Untung IHSG Turun Tipis Saja

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik ditutup terkoreksi pada perdagangan Senin (27/2/2023), di tengah kekhawatiran pasar akan makin agresifnya bank sentral Amerika Serikat (AS) setelah data inflasi PCE kembali naik.
Indeks Nikkei 225 Jepang ditutup turun 0,11% ke 27.424, Hang Seng Hong Kong melemah 0,33% ke 19.943,51, Shanghai Composite China terkoreksi 0,28% ke 3.258,03, ASX 200 Australia ambles 1,12%.
Sedangkan untuk indeks Straits Times Singapura terpangkas 0,58% ke 3.263,24, KOSPI Korea Selatan merosot 0,87% ke 2.402,64, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir turun tipis 0,03% menjadi 6.854,78.
Dari China, bank sentral (People Bank of China/PBoC) menegaskan untuk tetap mempertahankan nada dovish dalam laporan triwulanannya, karena saat ini dianggap tepat untuk mendukung pertumbuhan dan stabilitas ekonomi China.
PBoC juga menegaskan kembali dukungannya untuk penyesuaian lintas siklus untuk meningkatkan permintaan dan memberikan dukungan yang lebih kuat bagi perekonomian.
Hal ini Ini juga mengulangi janjinya untuk mempertahankan likuiditas dan pertumbuhan kredit yang cukup sambil menjaga jumlah uang beredar dan pertumbuhan pembiayaan sosial pada kecepatan yang sama dengan produk domestik bruto nominalnya.
Selain itu, PBoC menambahkan pemotongan rasio cadangan wajib tahun lalu adalah salah satu alat yang digunakan bank sentral untuk mendukung pinjaman, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Di lain sisi, kekhawatiran pasar terkait potensi bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang masih akan bersikap hawkish kembali bertambah setelah dirilisnya data indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) periode Januari lalu melampaui ekspektasi para ekonom.
Inflasi PCE dilaporkan naik menjadi 5,4% (year-on-year/yoy) dari sebelumnya 5,3%, sementara inflasi inti PCE tumbuh 4,7% dari sebelumnya 4,6%.
Kenaikan tersebut dipicu oleh belanja konsumen pada Januari lalu yang melonjak ke level tertinggi dalam dua tahun terakhir.
Kenaikan belanja konsumen tersebut menjadi dilema, di satu sisi bagus untuk perekonomian, di sisi lain inflasi jadi sulit turun, bahkan malah kembali naik.
Hal ini membuktikan bahwa AS memang perlu mengalami resesi, sehingga pasar tenaga kerja melemah daya beli masyarakat menurun sehingga inflasi pada akhirnya melandai.
Departemen Tenaga Kerja AS pada awal bulan ini melaporkan sepanjang Januari perekonomian Paman Sam mampu menyerap 517.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll/NFP), jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 260.000 orang.
Tingkat pengangguran pun turun menjadi 3,4% dari sebelumnya 3,5%. Persentase penduduk yang tidak bekerja tersebut berada di posisi terendah sejak Mei 1969.
Kemudian, rata-rata upah per jam masih tumbuh 4,4% (yoy), lebih tinggi dari prediksi 4,3%.
Alhasil, pasar memperkirakan suku bunga The Fed bisa lebih tinggi lagi guna meredam inflasi.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Investor Masih Lakukan Aksi Profit Taking, Bursa Asia Lesu Lagi
