Duh, Bursa Asia Banyak Turun Meski Ada Kabar Baik Dari China
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik dibuka cenderung bervariasi pada perdagangan Selasa (31/1/2023), karena investor menantikan berbagai data ekonomi dan potensi kenaikan suku bunga dari bank sentral Amerika Serikat (AS).
Pada pukul 08:30 WIB, indeks Nikkei 225 Jepang melemah 0,2%, Shanghai Composite China turun 0,1%, dan KOSPI Korea Selatan terkoreksi 0,29%.
Sedangkan untuk indeks Hang Seng Hong Kong menguat 0,55%, Straits Times Singapura naik tipis 0,03%, dan ASX 200 Australia bertambah 0,13%.
Dari China, data aktivitas manufaktur yang tergambarkan pada purchasing manager's index (PMI) versi NBS periode Januari 2023 akan dirilis 50,1 naik dari sebelumnya pada Desember 2022 di angka 47.
Meski kembali berekspansi dan menjadi kabar baik, tetapi belum bisa memberikan dampak positif ke pasar saham Asia.
Investor menanti dampak dari pembukaan kembali China di kancah internasional, setelah Negeri Tirai Bambu tersebut memerangi pandemi Covid-19 dengan memberlakukan kebijakan nol-Covid selama tiga tahun terakhir.
Di lain sisi, pergerakan bursa Asia-Pasifik pada hari ini cenderung berlawanan dari bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street pada perdagangan akhir pekan lalu, yang ditutup cukup cerah.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melemah 0,77%, S&P 500 ambles 1,29%, dan Nasdaq Composite ambruk 1,96%.
Musim rilis kinerja keuangan perusahaan di AS kembali berlanjut pada pekan ini, di mana Sekitar 20% emiten di indeks S&P 500 akan melaporkan pendapatan pekan ini.
Sejauh ini, lebih dari 25% perusahaan di indeks S&P sudah melaporkan keuangan terbaru mereka. Dari jumlah tersebut, 69% mampu mencatatkan kinerja yang lebih baik dari ekspektasi.
Analis kini memperkirakan agregat earnings dari laporan keuangan kuartal IV-2022 akan turun 2,7%, lebih rendah dibandingkan koreksi 1,6% yang diproyeksikan pada 1 Januari lalu.
Di lain sisi, investor menanti dan memantau pekan tersibuk di global dan mereka juga menanti hasil dari pertemuan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), di mana pertemuan The Fed terbaru akan dilaksanakan pada Selasa hingga Rabu waktu AS.
The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga sebesar seperempat poin persentase atau 25 basis poin (bp). Menurut perangkat CME FedWatch, ada kemungkinan 99,9% dari kenaikan The Fed yang relatif kecil pada pekan ini.
Investor pun akan mencari petunjuk tentang seberapa tinggi suku bunga yang akan diambil The Fed dalam perang melawan inflasi.
Pasar telah mendorong saham lebih tinggi tahun ini sebagian karena laporan inflasi yang lebih lemah, yang mereka duga dapat menyebabkan The Fed segera menghentikan kampanye 'perang inflasi'.
Selain The Fed, bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) juga akan mengumumkan kebijakan suku bunga acuan terbaru pada pekan ini, tepatnya pada Kamis.
ECB diprediksi akan kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin menjadi 3% kali ini, berdasarkan polling dari Trading Economics.
Bank sentrak Inggris (Bank of England/BoE) juga diperkirakan akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 4%.
Banyaknya pengumuman suku bunga pada pekan ini, dan akan semakin tinggi tentunya membuat pasar berhati-hati. Proyeksi kondisi ekonomi terbaru dari para bank sentral akan menjadi perhatian utama, apakah Negara Barat akhirnya mengalami resesi, atau bisa lolos.
Gubernur ECB, Christine Lagarde dalam World Economic Forum (WEF) di Davos dua pekan lalu juga mengatakan wajah perekonomian Eropa saat ini jauh lebih bagus, tidak seperti yang ditakutkan sebelumnya.
Pada kesempatan yang sama, deputi direktur pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Gita Gopinath mengatakan keputusan China untuk melonggarkan kebijakan nol-Covid menjadi salah satu alasan IMF menjadi lebih optimistis.
Jika para bank sentral menunjukkan sikap lebih optimistis, sentimen pelaku pasar tentunya akan membaik.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)