Simak! Begini Arah Ekonomi Dunia di 2023 Versi Bank Indonesia

Market - Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
26 January 2023 12:34
Gedung BI Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) mengungkapkan, masih banyak tantangan ke depan yang harus dihadapi dalam mengelola perekonomian di tanah air. Hal ini juga yang pada akhirnya akan menentukan arah kebijakan BI sebagai bank sentral.

Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan, bahwa pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini diperkirakan akan melambat. Bahkan bank sentral telah melakukan revisi pertumbuhan ekonomi global.

"Proyeksi pertumbuhan tahun ini direvisi turun dari 2,6% menjadi 2,3%. Hal ini dengan melihat adanya resesi yang terjadi di Amerika Serikat (AS) dan Inggris," jelas Perry dalam Bank Indonesia Annual Investment Forum 2023, Kamis (26/1/2023).

Kendati demikian, Perry pertumbuhan ekonomi global 2023 yang diproyeksikan mencapai 2,3% tersebut belum sekaligus memperhitungkan pertumbuhan ekonomi China setelah tidak lagi memberlakukan zero Covid-19 policy.

Adapun pada 2024, pertumbuhan ekonomi global diharapkan dapat tumbuh mencapai 2,8%. Menurut Perry, optimisme perlu dikedepankan, apalagi di tengah menghadapi ketidakpastian global.

Dari sisi inflasi, pada Desember tahun lalu, inflasi global masih berada pada kisaran 9,2%, dan diperkirakan akan melandai hingga 5,2% pada 2023.

"Kemudian akan menurun 3,8% pada tahun depan (2024). Ini memang laju inflasi yang tidak normal," jelas Perry.

Inflasi di negara maju juga masih menjadi momok di tahun ini. Seperti di AS misalnya, yang inflasinya pada 2022 telah mencapai 6,5% (year on year/yoy). Dan diperkirakan pada tahun ini turun menjadi 3,1% dan tahun 2024 diperkirakan mencapai 2,5%.

Adapun tingkat inflasi di Eropa juga masih tinggi pada 2022 dengan level 9,2% dan diperkirakan akan menurun hingga 3,6% pada tahun ini, dan turun lagi menjadi 2,2% pada 2024.

"Inflasi masih melekat di seluruh dunia tahun ini. Mungkin baru turun di paruh kedua tahun ini. Paruh pertama masih sulit, ini mengapa kami masih menghadapi tingkat bunga yang lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama (interest rate for longer)," ucap Perry.

BI juga menilai, pada tahun ini Bank Sentral AS alias The Fed belum akan menurunkan suku bunga acuannya, melihat kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian.

Perry menyebut, baseline suku bunga The Fed pada 2023 akan berada pada kisaran 5%. Sementara, dalam kondisi yang semakin sulit, suku bunga acuan The Fed bisa bergerak ke arah 5,25%.

Ekspektasi BI tersebut lebih rendah dari proyeksi The Fed, yang mengungkapkan masih akan menaikkan sebesar 75 basis poin, hingga menjadi 5% - 5,75%.

"Kami belum yakin bahwa sampai akhir tahun ini The Fed akan menurunkan suku bunga, sampai ke 4,5%. Kami masih meyakini bahwa akan bergerak di sekitar 5,25%," jelas Perry.

Menurutnya, apabila terjadi penurunan suku bunga ketika kondisi ekonomi global membaik, paling cepat hanya dapat turun ke 4,75% pada penghujung tahun. BI tetap memandang bahwa rezim suku bunga tinggi akan menyelimuti 2023.

Masih tingginya suku bunga acuan bank sentral di negara maju tersebut, tentu akan berimplikasi terhadap pergerakan nilai tukar rupiah. BI sebagai bank sentral membutuhkan banyak devisa untuk melakukan stabilisasi nilai tukar.

"Kita memerlukan portofolio yang matang, untuk bagaimana kita menangani suku bunga secara global dalam mengelola pasar domestik kita," tuturnya.

Apalagi di tengah tekanan dolar AS yang masih menguat hingga saat ini. Meskipun saat ini indeks dolar (DXY) tidak tinggi seperti sebelumnya, yang pernah mencapai 115.

Perry bilang cash is the king atau uang adalah raja. Istilah tersebut merujuk pada fenomena di mana para pelaku pasar lebih memilih memegang uang tunai, dalam hal ini dolar AS.

"Tahun lalu kami memiliki arus modal keluar. Cash is the king. Masih sangat dikedepankan tahun ini," kata Perry lagi.

Pada awal tahun 2023, Indonesia pun telah dibanjiri dana asing hingga US$ 4,8 miliar, di tengah banyak negara lain yang masih mengalami capital outflow atau keluarnya dana asing dari negaranya.

Perry pun tak segan untuk mengajak kepada para investor yang hadir untuk berinvestasi di Indonesia. Mengingat, Indonesia menawarkan imbal hasil atau yield SUN 10 tahun yang menarik, dibandingkan dengan yield US Treasury dengan tenor yang sama.

"Anda melihat ke depan US Treasury (UST), dulunya dekat 2% sekarang 3,6%. Indonesia memiliki imbal hasil yang lebih tinggi sekarang," kata Perry melanjutkan.

Melansir data revintiv, hingga 26 Januari 2022, yield UST 10 tahun melandai level 3,4%. Sementara SUN 10 tahun memiliki yield hingga 6,6%.

Oleh karena itu, investor diharapkan mau berinvestasi ke Indonesia, karena Bank Indonesia sebagai mandat mengelola cadangan devisa memiliki peran besar untuk mengelola nilai tukar tetap terjaga.

Apalagi saat ini, ekonomi dunia masih dipenuhi dengan ketidakpastian. "Meskipun kami baik dalam mengelola perekonomian di dalam negeri, tapi kami tidak kebal terhadap turbulensi global," jelas Perry.

"Jadi tolong beri tahu kami, apa yang Anda lihat, apa yang Anda yakini, dan apa yang akan Anda lakukan selama tahun 2023," kata Perry lagi kepada investor.


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

Sst..Ini 5 Risiko Global yang Paling Ditakuti Gubernur BI


(cap/cap)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading