
Jeblok Dekati Lagi Rp 15.000/US$, Rupiah Terburuk di Asia

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Rupiah melemah cukup tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Rabu (25/1/2022). Rupiah kembali mendekati level psikologis Rp 15.000/US$, dan menjadi yang terburuk di Asia.
Selasa kemarin Mata Uang Garuda sukses melesat lebih dari 1% dan mencapai level terkuat dalam lebih dari 3 bulan terakhir.
Sepanjang tahun ini hingga Selasa kemarin rupiah tercatat menguat sekitar 4,5% dan masuk 5 besar mata uang terbaik dunia. Rupiah hanya kalah dari rubel Rusia, peso Kolumbia, dan baht Thailand.
Melihat kondisi tersebut maka wajar rupiah mengalami koreksi cukup tajam. Pada pukul 12:50 WIB rupiah diperdagangkan di kisaran Rp 14.970/US$, melemah 0,57% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Pelemahan tersebut menjadi yang terbesar dibandingkan mata uang Asia lainnya.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.
Penguatan tajam rupiah kemarin dikatakan masih dipengaruhi oleh sentimen yang sama dengan pekan lalu oleh Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Edi Susianto.
"Sentimen datang dari global, pasar saham di AS mengalami penguatan yang berlanjut ke pasar saham Asia, sehingga mendorong sentimen risk on, indeks dolar AS (DXY) mengalami pelemahan," kata Edi kepada CNBC Indonesia.
Setidaknya ada tiga faktor yang membuat sentimen pelaku pasar membaik belakangan ini. Yang pertama China yang melonggarkan kebijakan zero Covid-19. Perekonomian negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua di dunia itu diperkirakan akan bangkit tahun ini.
Hal tersebut juga membuat Eropa diperkirakan bisa terhindar dari resesi tahun ini, yang menjadi sentimen positif kedua bagi investor.
Survei terbaru menunjukkan Eropa bisa menghindari resesi di tahun ini. Semua berkat penurunan harga energi serta pembukaan kembali perekonomian China.
Survei yang dilakukan oleh Consensus Economics menunjukkan Eropa diperkirakan akan mampu mencatat pertumbuhan 0,1% pada tahun ini.
Anna Titareva, ekonom di USB sebagaimana dikutip Financial Times Minggu (22/1/2022) mengatakan saat ini risiko resesi Eropa kurang dari 30%, jauh lebih rendah dari proyeksi yang diberikan tahun lalu hingga 90%.
"Meredanya disrupsi supply, pasar tenaga kerja yang kuat dan simpanan yang lebih banyak membuat ekonomi zona euro resilien. Eropa juga sukses memenuhu pasokan gasnya dalam beberapa bulan terakhir," kata Titavera.
Kemudian faktor ketiga yang membuat sentimen investor membaik yakni bank sentral AS (The Fed) yang diperkirakan akan mengendurkan lagi laju kenaikan suku bunganya.
The Fed akan mengumumkan kebijakan moneter pada pekan depan, dan pasar tentunya wait and see, yang menjadi salah satu pemicu koreksi rupiah setelah menguat tajam.
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
