Sudah Menguat 4,5%, Rupiah Mundur Dulu

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
25 January 2023 09:15
Petugas menghitung uang  dolar di tempat penukaran uang Dolarindo, Melawai, Blok M, Jakarta, Senin, (7/11/ 2022)
Foto: Ilustrasi Dolar dan Rupiah. (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah menguat lebih dari 1% melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada Kamis kemarin, dan mencapai level terkuat dalam lebih dari 3 bulan terakhir. Penguatan tajam dan posisinya saat ini memicu koreksi di awal perdagangan Rabu (25/1/2023).

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,1% ke Rp 14.900/US$. Depresiasi bertambah menjadi 0,37% ke Rp 14.940/US$ pada pukul 9:06 WIB.

Rupiah sepanjang tahun ini hingga Selasa kemarin tercatat menguat sekitar 4,5% dan masuk 5 besar mata uang terbaik dunia. Rupiah hanya kalah dari rubel Rusia, peso Kolumbia, dan baht Thailand.

Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Edi Susianto menuturkan rupiah menguat akibat sentimen yang tidak jauh berbeda dari minggu lalu.

"Sentimen datang dari global, pasar saham di AS mengalami penguatan yang berlanjut ke pasar saham Asia, sehingga mendorong sentimen risk on, indeks dolar AS (DXY) mengalami pelemahan," kata Edi kepada CNBC Indonesia.

Salah satu yang mendongkrak sentimen risk on adalah Eropa yang diperkirakan tidak akan mengalami resesi tahun ini.

Survei terbaru menunjukkan Eropa bisa menghindari resesi di tahun ini. Semua berkat penurunan harga energi serta pembukaan kembali perekonomian China.

Survei yang dilakukan oleh Consensus Economics menunjukkan Eropa diperkirakan akan mampu mencatat pertumbuhan 0,1% pada tahun ini.

Anna Titareva, ekonom di USB sebagaimana dikutip Financial Times Minggu (22/1/2022) mengatakan saat ini risiko resesi Eropa kurang dari 30%, jauh lebih rendah dari proyeksi yang diberikan tahun lalu hingga 90%.

"Meredanya disrupsi supply, pasar tenaga kerja yang kuat dan simpanan yang lebih banyak membuat ekonomi zona euro resilien. Eropa juga sukses memenuhu pasokan gasnya dalam beberapa bulan terakhir," kata Titavera.

Harga gas juga sudah menurun tajam, kembali ke bawah level sebelum perang Rusia-Ukraina pecah. Hal ini tentunya akan meredakan tekanan inflasi di Benua Biru.

Gubernur bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) dalam World Economic Forum (WEF) di Davos pekan lalu juga mengatakan wajah perekonomian Eropa saat ini jauh lebih bagus, tidak seperti yang ditakutkan sebelumnya.

Data yang dirilis dari Eropa juga menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Data yang dirilis dari Jerman hari ini menunjukkan sektor jasa kembali berekspansi untuk pertama kalinya dalam 8 bulan terakhir. S&P Global melaporkan purchasing managers' index (PMI) jasa Jerman naik menjadi 50,4 pada Januari 2023, dari bulan sebelumnya 49,2.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawah 50 artinya kontraksi, di atasnya adalah ekspansi.

Berbeda dengan sektor jasa, PMI manufaktur Jerman masih mengalami kontraksi, dengan angka 47 turun dari sebelumnya 47,1. Berbanding terbalik dengan Jerman, PMI manufaktur Prancis justru berekspansi untuk pertama kalinya dalam 7 bulan terakhir, sementara sektor jasa masih kontraksi.

Data tersebut menunjukkan tanda-tanda membaiknya perekonomian Eropa, meski masih belum menyeluruh.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular