
Sah! China Alami Masa "Tergelap", Rupiah Terpuruk Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah cukup tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan Selasa (17/1/2023). China yang mengalami masa "tergelap" dalam hampir lima dekade terakhir membuat sentimen pelaku pasar memburuk. Rupiah yang menguat tajam belakangan ini pun mengalami koreksi.
Begitu perdagangan dibuka, rupiah langsung melemah 0,4% ke Rp 15.100/US$, melansir data Refinitiv. Pelemahan rupiah bertambah hingga 0,66% ke Rp 15.140/US$ pada pukul 9:12 WIB.
Sebelumnya rupiah menguat tajam dalam 4 hari beruntun, awal pekan kemarin bahkan sempat menyentuh Rp 14.975/US$.
Pemerintah China hari ini melaporkan produk domestik bruto (PDB) sepanjang 2022 tumbuh 3% saja. Angka tersebut jauh di bawah target pemerintah 5,5%.
Jika tidak memperhitungkan tahun 2020, ketika dunia dilanda pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19), PDB tersebut menjadi yang terendah sejak 1976.
China merupakan mitra dagang utama Indonesia, ketika perekonomiannya melambat maka permintaan juga berisiko menurun. Hal ini tentunya memberikan sentimen negatif ke rupiah.
Seperti diketahui, kebijakan zero Covid-19 yang diterapkan China menjadi alasan jebloknya perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut.
Meski demikian kabar baiknya, China sudah perlahan mulai membuka kembali perekonomiannya. Survei dari Reuters pun menunjukkan di tahun ini PDB China akan bangkit dan tumbuh 4,9%.
Sementara itu penguatan tajam rupiah hingga ke bawah Rp 15.000/US$ kemarin ditopang oleh sentimen dalam dan luar negeri.
Rupiah mendapat momentum penguatan setelah pemerintah mengumumkan akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE). Dengan revisi tersebut DHE nantinya akan ditahan lebih lama di dalam negeri, sehingga pasokan dolar AS bisa bertambah.
Isu tirisnya pasokan dolar AS di dalam negeri terlihat dari necara perdagangan yang sudah mencatat surplus dalam 31 bulan beruntun, tetapi cadangan devisa malah terus menurun.
Kemudian, inflasi di Amerika Serikat yang terus menurun membuat penguatan rupiah semakin terakselerasi pekan lalu. Penurunan inflasi artinya bank sentral AS (The Fed) kemungkinan menurunkan lagi agresivitasnya dalam menaikkan suku bunga, bahkan ada peluang diturunkan sebelum 2024.
Selian itu, investor asing kembali masuk ke pasar obligasi sekunder dalam dua bulan terakhir.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), pada November 2022 tercatat capital inflow sebesar Rp 23,7 triliun. Kemudian pada Desember meningkat menjadi Rp 25,3 triliun.
Sementara sepanjang di awal tahun ini hingga 12 Januari capital inflow di pasar obligasi sekunder mencapai Rp 16,3 triliun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Penyebab Rupiah Menguat 4 Pekan Beruntun, Terbaik di Asia
