Empat Saham Big Caps Diobral Asing Gegara Ramalan Ngeri IMF!
Jakarta, CNBC Indonesia - Lagi-lagi IHSG terkoreksi terkena sentimen resesi. Pada perdagangan Rabu kemarin (04/01/2022) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali turun cukup dalam sebesar -1,01% ke level 6.813,23 setelah ditransaksikan mencapai 1,19 juta kali dan total nilai transaksi mencapai Rp 9,71 triliun.
Pergerakan IHSG melibatkan 164 saham yang naik, 173 saham stagnan, dan didominasi saham yang turun sebanyak 369 emiten.
Investor asing ikut andil dalam penurunan IHSG kali ini, yang mana asing tercatat melakukan aksi jual bersih di seluruh pasar mencapai Rp 437,65 miliar dan lebih besar di pasar reguler dengan net sell Rp 498,28 miliar.
Sasaran net sell asing pun tak main-main, yang mana asing menjual bersih jajaran saham-saham big cap di berbagai sektor termasuk perbankan, telekomunikasi, dan pertambangan. Berikut rinciannya:
- Bank Central Asia Tbk (BBCA) net sell Rp 328.16 miliar
- Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) net sell Rp 103,25 miliar
- Telkom Indonesia Tbk (TLKM) net sell Rp 71,56 miliar
- Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) net sell Rp 25,93 miliar
- United Tractors Tbk (UNTR) net sell Rp 29,86 miliar
Aksi jual yang dilakukan asing imbas dari sentimen pernyataan, Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva yang mengungkapkan bahwa tak terkecuali negara berkembang memungkinkan menerima efek domino, dari apresiasi dolar yang disebabkan tingkat suku bunga yang tinggi serta melambatnya ekonomi China, sebagai rantai pasokan utama dunia mendorong output dan input ekonomi secara global pun melemah.
"Kami memperkirakan sepertiga dari ekonomi dunia akan berada dalam resesi," kata Kristalina Georgieva.
" inilah yang kita lihat di tahun 2023. Bagi sebagian besar ekonomi dunia, ini akan menjadi tahun yang suit, lebih sulit dari tahun sebelumnya. Mengapa? Karena tiga ekonomi terbesar yaitu Amerika Serikat (AS), Eropa, dan China semuanya melambat secara bersamaan." Ujarnya
Lebih lanjut, Georgieva menyatakan bahwa posisi Amerika Serikat cukup resilien di tahun ini dan dapat menghindari resesi. Namun, pasar tenaga kerja yang cukup kuat di AS memungkinkan The Fed terus mempertahankan suku bunga lebih ketat untuk menurunkan inflasi.
Berbeda dengan AS, setengah Uni Eropa justru diramal akan mengalami resesi akibat dari dampak perang Rusia-Ukraina yang masih berlangsung, ungkapnya.
Di China, menurut Kristalina, laju ekonomi China pada 2022 kemungkinan di bawah pertumbuhan ekonomi global untuk pertama kalinya dalam 40 tahun karena lonjakan kasus covid-19. Peningkatan kasus membuat Negeri Tirai Bambu tersebut menerapkan sejumlah pembatasan yang menahan aktivitas ekonomi yang berdampak terhadap macetnya mobilitas manufaktur di negara itu, mengakibatkan data manufaktur China pun terus terkontraksi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)