Big Stories 2022

Nggak Cuma di RI, Saham Teknologi di AS pun Berguguran!

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
30 December 2022 09:30
wall street
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2022 menjadi tahun yang kurang menggembirakan bagi bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street, terutama bagi saham-saham teknologi di AS.

Dari periode 31 Desember 2021 hingga 28 Desember 2022, bursa Wall Street mencatatkan koreksi. Indeks Nasdaq Composite menjadi yang paling parah yakni ambruk hingga 35,49% secara tahun berjalan (year-to-date/YTD).

Sedangkan untuk indeks Dow Jones (DJIA) terkoreksi 10,14% dan S&P 500 ambles 21,13% sepanjang tahun 2022.

Saham-saham teknologi di AS menjadi yang paling merana sepanjang tahun ini, di mana secara rata-rata lebih dari 30%, bahkan lebih dari 60%.

Sekitar 14 perusahaan terbesar (big company) di AS, mayoritas mengalami koreksi di tahun 2022.

Berikut kinerja saham 14 big company di AS sepanjang tahun 2022.

Dari data di atas, hanya saham perminyakan yakni Exxon Mobil yang mencatatkan penguatan bahkan melesat cukup tinggi sepanjang tahun 2022. Hal ini karena ditopang oleh kenaikan harga minyak mentah dunia akibat adanya perang Rusia Ukraina.

Sepanjang tahun ini saja, harga minyak untuk jenis acuan Brent sudah. Sedangkan untuk harga minyak jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI).

Bahkan, harga minyak mentah dunia sempat menyentuh rekor tertinggi atau all time high (ATH) pada 8 Maret lalu. Untuk jenis Brent, ATH-nya berada di US$ 127,98 per barel, sedangkan jenis WTI, ATH-nya berada di US$ 123,7 per barel.

Tak hanya saham Exxon Mobil, saham konglomerat yang dimiliki oleh Warren Buffet, yakni Berkshire Hathaway juga terpantau positif sepanjang tahun ini.

Sementara untuk saham-saham teknologi di atas menjadi yang paling merana sepanjang tahun 2022, di mana saham Tesla menjadi yang paling parah koreksinya yakni mencapai 68%.

Saham teknologi paling terbebani oleh sentimen pasar yang mewarnai global pada tahun ini, terutama di AS sendiri, di mana salah satunya yakni kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).

Pada awal tahun ini, The Fed sudah mulai mengindikasikan akan mengubah sikap dovish­-nya menjadi bersikap hawkish, dengan menaikkan suku bunga dan terus mengurangi quantitative easing (QE), sehingga era easy money resmi berakhir pada tahun ini.

The Fed sudah menaikkan suku bunga acuannya hingga 425 basis poin (bp) sepanjang tahun ini, di mana kenaikan 75 bp sudah dilakukan selama empat kali beruntun.

Inflasi yang masih panas menjadi alasan utama The Fed untuk bersikap hawkish. Hingga November 2022, inflasi di AS masih cukup tinggi yakni mencapai 7,1%, masih cukup tinggi dari target yang ditetapkan yakni di 2%.

Bahkan pada tahun ini, inflasi AS mencapai puncaknya yakni 9,1% pada Juni lalu, menjadi yang tertinggi dalam 41 tahun terakhir atau sejak 1981.

Inflasi yang tinggi disebabkan karena harga komoditas yang menyentuh rekor tertingginya, terutama harga minyak dan pangan, akibat adanya perang Rusia-Ukraina.

Keputusan Rusia untuk menyerang Ukraina mendapatkan pertentangan besar dari kelompok Barat. Aliansi yang terdiri dari AS, Inggris, Uni Eropa (UE) dan sekutunya memutuskan untuk memberikan sanksi terhadap Moskow (Rusia), salah satunya adalah embargo energi.

Hal ini kemudian menimbulkan lonjakan harga energi yang tinggi, utamanya di wilayah Eropa. Ini dikarenakan ketergantungan Benua Biru terhadap sumber energi dari Moskow sebelum perang berlangsung sehingga peralihan Eropa untuk mencari sumber baru di luar Rusia telah menimbulkan gejolak harga.

Selain itu, untuk gas, harga kemudian melonjak hingga menyentuh US$ 8,7 per MMBtu dari yang sebelumnya berada di kisaran US$ 4,3.

Tak hanya energi, perang juga membawa krisis pangan. Ukraina dan Rusia diketahui merupakan salah satu lumbung pangan dunia. Kedua negara yang saling bertempur itu memproduksi biji-bijian seperti gandum dan jagung.

Peperangan keduanya pun telah mengganggu jalur distribusi pangan bagi dunia, utamanya negara-negara seperti Timur Tengah dan Afrika. Pasalnya, wilayah itu cukup bergantung dari pasokan keduanya.

Krisis ini kemudian diperparah oleh blokade yang diterapkan Rusia di sekitar pelabuhan Odessa di Ukraina. Ini membuat kapal-kapal yang biasanya membawa ekspor pangan dari Ukraina tidak dapat keluar.

Mengutip CNBC International, harga jagung berjangka pada bulan April diperdagangkan di atas US$ 8 (Rp 115 ribu) per gantang. Ini merupakan rekor tertinggi sejak September 2012. Sebelumnya, pada awal tahun ini, jagung diperdagangkan mendekati US$ 6 per gantang.

PBB mengatakan perang itu kemudian mengancam sebagian besar populasi dunia. Ini diperparah fakta bahwa beberapa belahan bumi juga masih bergulat dengan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19.

"Krisis tersebut telah menyebabkan badai sempurna gangguan terhadap pasar pangan, energi, dan keuangan global yang "mengancam akan berdampak negatif terhadap kehidupan miliaran orang di seluruh dunia," kata PBB seperti dikutip CNBC International.

"Sebanyak 1,7 miliar orang "sangat terpapar" pada efek berjenjang dari perang Rusia terhadap sistem pangan, energi, dan keuangan global," tambah keterangan dari Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres.

Selain itu, krisis chip juga menjadi penyebab inflasi global makin meninggi pada tahun ini. Hal ini terjadi juga berkaitan dengan perang Rusia-Ukraina, di mana Moskow memutuskan untuk membatasi ekspor gas mulia yang merupakan bahan yang cukup penting dalam pembuatan chip.

"Rusia membatasi ekspor gas mulia seperti neon, bahan utama untuk membuat cip, hingga akhir 2022 untuk memperkuat posisi pasarnya," kata kementerian perdagangannya.

Wacana pembatasan ekspor ini sendiri sebelumnya telah digulirkan pada akhir Mei lalu. Saat ini, Moskow menyumbang 30% dari pasokan global gas mulia. Salah satu tujuan ekspor Rusia untuk bahan itu adalah Jepang.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Inflasi Kembali Melandai, Wall Street Dibuka Happy!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular