Big Stories 2022

Cuma Tiga Bursa Asia yang Kasih Cuan 2022, RI Salah Satunya!

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
30 December 2022 08:45
Bank of Japan
Foto: Reuters

Saat banyak negara bergelut dengan inflasi yang terus meninggi tahun ini dan bank sentral terpaksa menaikkan suku bunga acuannya. Tetapi di Jepang dan China, bank sentral justru masih mempertahankan kebijakan dovish-nya, setidaknya hingga menjelang akhir tahun 2022.

Seperti halnya bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ). Sepanjang tahun ini, BoJ konsisten mempertahankan kebijakan moneter ultra-longgarnya, di mana BoJ mempertahankan suku bunga acuannya di level -0,1%, dari awal tahun ini hingga akhir tahun ini.

BoJ konsisten mempertahankan suku bunga acuannya di level rendah karena mereka menilai bahwa inflasi belum naik hingga melebihi target yang ditetapkan oleh BoJ, yakni sebesar 2%.

Padahal, inflasi Jepang juga cenderung mengalami kenaikan, meski kenaikannya tidak terlalu signifikan seperti banyak negara lainnya. Inflasi di Jepang baru mulai 'memanas' pada April 2022, di mana saat itu inflasi Negeri Sakura sudah mencapai 2,5% (year-on-year/yoy).

Tetapi saat itu, BoJ masih 'kekeuh'untuk mempertahankan suku bunga acuannya di level rendah, karena menilai bahwa kenaikan inflasi hanya bersifat sementara.

Memang jika dilihat-lihat, kenaikan inflasi Jepang cenderung sedikit-sedikit saja, bahkan cenderung mendatar, setidaknya hingga Agustus 2022. Namun, inflasi Jepang sejatinya telah berada di atas target BoJ.

Mulai Agustus 2022, inflasi Jepang sudah menyentuh sekitar 3% (yoy) dan pada November lalu, inflasinya sudah nyaris menyentuh 4%. Namun lagi-lagi, BoJ belum berpaling dan menganggap kenaikan inflasi masih bersifat sementara.

Tetapi menjelang akhir tahun 2022, kebijakan moneter BoJ sedikit berubah, meski suku bunga masih dipertahankan di level -0,1%. Pada pertemuan Desember 2022, BoJ merubah kebijakan yield curve control (YCC), di mana kebijakan ini diperlebar menjadi 50 basis poin (bp), dari sebelumnya 25 basis poin.

YCC merupakan kebijakan BoJ yang menahan imbal hasil (yield) obligasi tenor 10 tahun dekat dengan 0%. Ketika yield mulai menjauhi 0% maka BoJ akan melakukan pembelian obligasi.

Dengan memperlebar YCC, kebijakan BoJ menjadi lebih fleksibel, likuiditas yang disuntikkan ke perekonomian menjadi lebih kecil.

Perubahan kebijakan BoJ terhadap YCC tersebut langsung melambungkan yield surat utang pemerintah Jepang tenor 10 tahun pada saat itu, yakni ke posisi 0,46%. Posisi tersebut adalah yang tertinggi sejak Juli 2015 atau tujuh tahun terakhir.

Sementara itu di China, bank sentral (People Bank of China/PBoC) juga cenderung mempertahankan sikap dovish-nya pada tahun ini, disaat bank sentral negara lainnya berlomba-lomba untuk menaikkan suku bunga guna menjinakkan inflasi yang terus meninggi.

Pada awal tahun ini, PBoC kembali mempertahankan suku bunga acuannya (loan prime rate/LPR), di mana untuk LPR tenor 1 tahun bertahan di level 3,7%, sedangkan LPR tenor 5 tahun tetap di 4,6%. Suku bunga LPR ini bertahan hingga Agustus 2022.

Namun pada Mei 2022, LPR tenor 5 tahun dipangkas menjadi 4,45%. Sedangkan LPR tenor 1 tahun tetap di level 3,7%.

Kemudian pada Agustus 2022, kedua LPR tersebut kembali dipangkas, di mana LPR tenor 1 tahun dipangkas menjadi 3,65%, sedangkan LPR tenor 5 tahun lagi-lagi dipangkas menjadi 4,3%.

Alasan perekonomian China yang belum pulih menjadi alasan PBoC masih enggan untuk merubah sikap dovish-nya pada tahun ini dan tidak mengikuti langkah bank sentral lainnya.

Sementara itu, inflasi China juga cenderung mengalami kenaikan, tetapi tidak terlalu besar kenaikannya, karena ekonomi China juga masih 'tiarap' akibat kondisi Covid-19 yang tidak membaik.

Pada awal tahun ini, inflasi China sempat berada di 0,9% (yoy) pada awal tahun ini. Inflasi mulai merangkak naik sejak Maret lalu hingga September 2022. Adapun inflasi per September lalu mencapai 2,8%.

Namun mulai Oktober hingga November 2022, inflasi Negeri Panda kembali melandai. Kondisi Covid-19 yang terus memprihatinkan membuat inflasi China cenderung masih rendah.

Kebijakan nol-Covid atau zero Covid membuat perekonomian China sulit pulih pada tahun ini, sehingga hampir sektor usaha di China masih lesu.

Upaya pemerintah untuk menggenjot perekonomian pun sulit dilakukan karena berbenturan dengan kebijakan ketat terkait pandemi yang disebut nol-Covid.

Sejumlah sektor ekonomi, termasuk pusat bisnis China di Shanghai sempat terdampak oleh lockdown ketat akibat melonjaknya kasus Covid di negara tersebut.

Bahkan, kebijakan nol-Covid ini sempat diprotes oleh warga China, karena kebijakan ini dinilai makin membuat warga China semakin sengsara.

Pada November lalu, banyak warga turun ke jalan melakukan aksi demontrasi memprotes kebijakan no-Covid yang semakin membuat mereka sengsara.

Aksi demonstrasi tersebut menjadi gelombang pembangkangan sipil terbesar di China sejak Xi Jinping berkuasa satu dekade lalu.

Covid di China terus menyebar meskipun sebagian besar dari 1,4 miliar penduduknya berupaya mencegah penularan dengan mematuhi kebijakan nol-Covid untuk memberantas semua wabah dan mempertahankan kontrol perbatasan yang ketat.

Penguncian telah memperburuk salah satu perlambatan paling tajam dalam pertumbuhan ekonomi yang dialami China dalam beberapa dekade, mengganggu rantai pasokan global, dan dan menimbulkan gejolak di pasar keuangan.

Setelah adanya aksi demonstrasi besar-besaran, pemerintah China mulai mengevaluasi kebijakan nol-Covid dan beberapa hari berikutnya, pemerintah China akhirnya mulai melonggarkan kebijakan pembatan Covid-19.

Namun menjelang pergantian tahun, kondisi Covid-19 semakin mengkhawatirkan. Per 22 Desember lalu. China melaporkan kurang dari 4.000 kasus Covid lokal bergejala baru secara nasional, meski tidak ada temuan akibat Covid baru selama tiga hari berturut-turut. Pihak berwenang telah mempersempit kriteria kematian akibat Covid, yang memicu kritik dari banyak pakar penyakit.

Sementara perusahaan data kesehatan Airfinity yang berbasis di Inggris pekan lalu mengatakan jumlah infeksi di China kemungkinan lebih dari satu juta per hari dengan kematian lebih dari 5.000 per hari, dan ini sangat kontras dari data resmi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan melaporkan belum menerima data dari China tentang rawat inap Covid baru sejak Beijing mencabut kebijakan nol-Covidnya.

Sejak beberapa waktu terakhir, China tiba-tiba mengubah kebijakan, membuat sistem kesehatan yang sudah rapuh tidak siap menghadapinya. Alhasil, rumah sakit berebut tempat tidur dan stok darah, apotek berebut obat-obatan, dan pihak berwenang berlomba untuk membangun klinik baru.

Tak hanya itu, pemerintah juga mulai memvaksinasi lansia. Ini dianggap telat, sebab China baru memvaksinasi lansia tiga minggu lalu.

Tingkat vaksinasi keseluruhan China di atas 90% tetapi tingkat untuk orang dewasa yang telah mendapatkan suntikan booster turun menjadi 57,9%, dan menjadi 42,3% untuk orang berusia 80 tahun ke atas, menurut data pemerintah.

Negara ini memiliki sembilan suntikan Covid yang dikembangkan di dalam negeri dan telah disetujui untuk digunakan. Namun semuanya dianggap kurang efektif daripada vaksin buatan Barat yang menggunakan teknologi mRNA.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(chd)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular