Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2022 hanya tinggal dua hari lagi dan beberapa bursa Asia-Pasifik sudah mengakhiri perdagangan di tahun 2022 kemarin.
Namun, tahun ini menjadi tahun yang cukup menantang bagi bursa Asia-Pasifik karena tekanan kondisi global yang meleset dari ekspektasi pasar di mana banyak sekali tantangan yang harus dihadapi oleh pelaku pasar, baik di kawasan Asia-Pasifik, maupun global.
Dari periode 30 Desember 2021 hingga 29 Desember 2022, bursa Asia-Pasifik secara mayoritas berkinerja kurang menggembirakan, karena kondisi global yang diluar ekspektasi pasar dan banyak sekali gejolak di tahun 2022.
Hanya beberapa bursa saja yang berhasil mencatatkan kinerja yang cukup baik pada tahun ini, meski tidak sebaik seperti pada tahun lalu.
Untuk IHSG sendiri, kinerja pada tahun ini cenderung lebih rendah dibandingkan pada tahun lalu. Jika pada tahun 2021 IHSG berhasil melesat 10% lebih sedikit, tepatnya 10,08%. Pada tahun 2022 hanya mampu melesat 4,23%, jika tidak memperhitungkan perdagangan hari ini.
Sementara di antara bursa Asia-Pasifik lainnya, IHSG tidak sendirian, ada bursa India (BSE Sensex) dan bursa Singapura (Straits Times) yang juga berkinerja positif pada tahun 2022.
Berikut kinerja bursa Asia-Pasifik pada tahun 2022 (30 Desember 2021 - 29 Desember 2022).
Dari data di atas, bursa Korea Selatan (KOSPI) menjadi yang paling parah koreksinya pada tahun 2022, di mana KOSPI sepanjang tahun 2022 ambruk 24,89%. Bahkan, bursa saham China (Shanghai Composite) dan Hong Kong (Hang Seng) juga ambles hingga berkisar 14% - 15%.
Adapun IHSG berada diurutan kedua setelah bursa India. Bursa saham Negeri Bollywood tersebut menjadi yang paling baik diantara bursa Asia-Pasifik lainnya, yakni melesat 5,78%. Kemudian ada Straits Times yang melesat nyaris 4%.
Sementara itu, khusus di kawasan Asia Tenggara (ASEAN), hanya beberapa yang mencatatkan kinerja yang kurang baik pada tahun 2022.
Lagi-lagi, IHSG menjadi salah satu bursa saham terbaik di kawasan Asia-Pasifik, meski IHSG masih kalah dengan bursa saham Laos.
Berikut kinerja bursa saham di Asia Tenggara pada tahun 2022 (30 Desember 2021 - 29 Desember 2022).
Bursa saham Laos menjadi yang terbaik tahun 2022, yakni melonjak hingga 20,03%. Sedangkan IHSG berada diurutan kedua. Kemudian ada Straits Times Singapura, dan ada bursa Thailand (SET Index) yang menguat 0,22%.
Namun, untuk bursa saham Malaysia (KLSE), Filipina (PSEI), dan Vietnam (VNI) membukukan kinerja yang kurang menggembirakan pada tahun 2022.
Jika dibandingkan dengan bursa Asia-Pasifik utama, kinerja bursa saham Asia Tenggara masih cenderung lebih baik, di mana hanya bursa Vietnam saja yang ambles parah pada tahun ini.
Kondisi global yang tidak memungkinkan membuat bursa Asia-Pasifik cenderung kurang menggembirakan pada tahun ini. Bahkan, kinerja IHSG saja cenderung lebih rendah pada tahun lalu.
Pada awal tahun ini, gejolak pasar sudah cenderung dimulai setelah bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) berencana mengubah sikap dovish-nya menjadi bersikap hawkish, dengan menaikkan suku bunga dan terus mengurangi quantitative easing (QE), sehingga era easy money resmi berakhir pada tahun ini.
The Fed sudah menaikkan suku bunga acuannya hingga 425 basis poin (bp) sepanjang tahun ini, di mana kenaikan 75 bp sudah dilakukan selama empat kali beruntun.
Inflasi yang masih panas menjadi alasan utama The Fed untuk bersikap hawkish. Hingga November 2022, inflasi di AS masih cukup tinggi yakni mencapai 7,1%, masih cukup tinggi dari target yang ditetapkan yakni di 2%.
Bahkan pada tahun ini, inflasi AS mencapai puncaknya yakni 9,1% pada Juni lalu, menjadi yang tertinggi dalam 41 tahun terakhir atau sejak 1981.
Tak hanya di AS saja, mayoritas banyak negara juga mengalami inflasi yang meninggi, terutama di Zona Eropa, di mana ada inflasinya yang sudah menyentuh belasan persen.
Inflasi yang tinggi disebabkan karena harga komoditas yang menyentuh rekor tertingginya, terutama harga minyak dan pangan, akibat adanya perang Rusia-Ukraina.
Keputusan Rusia untuk menyerang Ukraina mendapatkan pertentangan besar dari kelompok Barat. Aliansi yang terdiri dari AS, Inggris, Uni Eropa (UE) dan sekutunya memutuskan untuk memberikan sanksi terhadap Moskow (Rusia), salah satunya adalah embargo energi.
Hal ini kemudian menimbulkan lonjakan harga energi yang tinggi, utamanya di wilayah Eropa. Ini dikarenakan ketergantungan Benua Biru terhadap sumber energi dari Moskow sebelum perang berlangsung sehingga peralihan Eropa untuk mencari sumber baru di luar Rusia telah menimbulkan gejolak harga.
Selain itu, untuk gas, harga kemudian melonjak hingga menyentuh US$ 8,7 per MMBtu dari yang sebelumnya berada di kisaran US$ 4,3.
Tak hanya energi, perang juga membawa krisis pangan. Ukraina dan Rusia diketahui merupakan salah satu lumbung pangan dunia. Kedua negara yang saling bertempur itu memproduksi biji-bijian seperti gandum dan jagung.
Peperangan keduanya pun telah mengganggu jalur distribusi pangan bagi dunia, utamanya negara-negara seperti Timur Tengah dan Afrika. Pasalnya, wilayah itu cukup bergantung dari pasokan keduanya.
Krisis ini kemudian diperparah oleh blokade yang diterapkan Rusia di sekitar pelabuhan Odessa di Ukraina. Ini membuat kapal-kapal yang biasanya membawa ekspor pangan dari Ukraina tidak dapat keluar.
Mengutip CNBC International, harga jagung berjangka pada bulan April diperdagangkan di atas US$ 8 (Rp 115 ribu) per gantang. Ini merupakan rekor tertinggi sejak September 2012. Sebelumnya, pada awal tahun ini, jagung diperdagangkan mendekati US$ 6 per gantang.
PBB mengatakan perang itu kemudian mengancam sebagian besar populasi dunia. Ini diperparah fakta bahwa beberapa belahan bumi juga masih bergulat dengan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19.
"Krisis tersebut telah menyebabkan badai sempurna gangguan terhadap pasar pangan, energi, dan keuangan global yang "mengancam akan berdampak negatif terhadap kehidupan miliaran orang di seluruh dunia," kata PBB seperti dikutip CNBC International.
"Sebanyak 1,7 miliar orang "sangat terpapar" pada efek berjenjang dari perang Rusia terhadap sistem pangan, energi, dan keuangan global," tambah keterangan dari Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres.
Selain itu, krisis chip juga menjadi penyebab inflasi global makin meninggi pada tahun ini. Hal ini terjadi juga berkaitan dengan perang Rusia-Ukraina, di mana Moskow memutuskan untuk membatasi ekspor gas mulia yang merupakan bahan yang cukup penting dalam pembuatan chip.
"Rusia membatasi ekspor gas mulia seperti neon, bahan utama untuk membuat cip, hingga akhir 2022 untuk memperkuat posisi pasarnya," kata kementerian perdagangannya.
Wacana pembatasan ekspor ini sendiri sebelumnya telah digulirkan pada akhir Mei lalu. Saat ini, Moskow menyumbang 30% dari pasokan global gas mulia. Salah satu tujuan ekspor Rusia untuk bahan itu adalah Jepang.
Saat banyak negara bergelut dengan inflasi yang terus meninggi tahun ini dan bank sentral terpaksa menaikkan suku bunga acuannya. Tetapi di Jepang dan China, bank sentral justru masih mempertahankan kebijakan dovish-nya, setidaknya hingga menjelang akhir tahun 2022.
Seperti halnya bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ). Sepanjang tahun ini, BoJ konsisten mempertahankan kebijakan moneter ultra-longgarnya, di mana BoJ mempertahankan suku bunga acuannya di level -0,1%, dari awal tahun ini hingga akhir tahun ini.
BoJ konsisten mempertahankan suku bunga acuannya di level rendah karena mereka menilai bahwa inflasi belum naik hingga melebihi target yang ditetapkan oleh BoJ, yakni sebesar 2%.
Padahal, inflasi Jepang juga cenderung mengalami kenaikan, meski kenaikannya tidak terlalu signifikan seperti banyak negara lainnya. Inflasi di Jepang baru mulai 'memanas' pada April 2022, di mana saat itu inflasi Negeri Sakura sudah mencapai 2,5% (year-on-year/yoy).
Tetapi saat itu, BoJ masih 'kekeuh'untuk mempertahankan suku bunga acuannya di level rendah, karena menilai bahwa kenaikan inflasi hanya bersifat sementara.
Memang jika dilihat-lihat, kenaikan inflasi Jepang cenderung sedikit-sedikit saja, bahkan cenderung mendatar, setidaknya hingga Agustus 2022. Namun, inflasi Jepang sejatinya telah berada di atas target BoJ.
Mulai Agustus 2022, inflasi Jepang sudah menyentuh sekitar 3% (yoy) dan pada November lalu, inflasinya sudah nyaris menyentuh 4%. Namun lagi-lagi, BoJ belum berpaling dan menganggap kenaikan inflasi masih bersifat sementara.
Tetapi menjelang akhir tahun 2022, kebijakan moneter BoJ sedikit berubah, meski suku bunga masih dipertahankan di level -0,1%. Pada pertemuan Desember 2022, BoJ merubah kebijakan yield curve control (YCC), di mana kebijakan ini diperlebar menjadi 50 basis poin (bp), dari sebelumnya 25 basis poin.
YCC merupakan kebijakan BoJ yang menahan imbal hasil (yield) obligasi tenor 10 tahun dekat dengan 0%. Ketika yield mulai menjauhi 0% maka BoJ akan melakukan pembelian obligasi.
Dengan memperlebar YCC, kebijakan BoJ menjadi lebih fleksibel, likuiditas yang disuntikkan ke perekonomian menjadi lebih kecil.
Perubahan kebijakan BoJ terhadap YCC tersebut langsung melambungkan yield surat utang pemerintah Jepang tenor 10 tahun pada saat itu, yakni ke posisi 0,46%. Posisi tersebut adalah yang tertinggi sejak Juli 2015 atau tujuh tahun terakhir.
Sementara itu di China, bank sentral (People Bank of China/PBoC) juga cenderung mempertahankan sikap dovish-nya pada tahun ini, disaat bank sentral negara lainnya berlomba-lomba untuk menaikkan suku bunga guna menjinakkan inflasi yang terus meninggi.
Pada awal tahun ini, PBoC kembali mempertahankan suku bunga acuannya (loan prime rate/LPR), di mana untuk LPR tenor 1 tahun bertahan di level 3,7%, sedangkan LPR tenor 5 tahun tetap di 4,6%. Suku bunga LPR ini bertahan hingga Agustus 2022.
Namun pada Mei 2022, LPR tenor 5 tahun dipangkas menjadi 4,45%. Sedangkan LPR tenor 1 tahun tetap di level 3,7%.
Kemudian pada Agustus 2022, kedua LPR tersebut kembali dipangkas, di mana LPR tenor 1 tahun dipangkas menjadi 3,65%, sedangkan LPR tenor 5 tahun lagi-lagi dipangkas menjadi 4,3%.
Alasan perekonomian China yang belum pulih menjadi alasan PBoC masih enggan untuk merubah sikap dovish-nya pada tahun ini dan tidak mengikuti langkah bank sentral lainnya.
Sementara itu, inflasi China juga cenderung mengalami kenaikan, tetapi tidak terlalu besar kenaikannya, karena ekonomi China juga masih 'tiarap' akibat kondisi Covid-19 yang tidak membaik.
Pada awal tahun ini, inflasi China sempat berada di 0,9% (yoy) pada awal tahun ini. Inflasi mulai merangkak naik sejak Maret lalu hingga September 2022. Adapun inflasi per September lalu mencapai 2,8%.
Namun mulai Oktober hingga November 2022, inflasi Negeri Panda kembali melandai. Kondisi Covid-19 yang terus memprihatinkan membuat inflasi China cenderung masih rendah.
Kebijakan nol-Covid atau zero Covid membuat perekonomian China sulit pulih pada tahun ini, sehingga hampir sektor usaha di China masih lesu.
Upaya pemerintah untuk menggenjot perekonomian pun sulit dilakukan karena berbenturan dengan kebijakan ketat terkait pandemi yang disebut nol-Covid.
Sejumlah sektor ekonomi, termasuk pusat bisnis China di Shanghai sempat terdampak oleh lockdown ketat akibat melonjaknya kasus Covid di negara tersebut.
Bahkan, kebijakan nol-Covid ini sempat diprotes oleh warga China, karena kebijakan ini dinilai makin membuat warga China semakin sengsara.
Pada November lalu, banyak warga turun ke jalan melakukan aksi demontrasi memprotes kebijakan no-Covid yang semakin membuat mereka sengsara.
Aksi demonstrasi tersebut menjadi gelombang pembangkangan sipil terbesar di China sejak Xi Jinping berkuasa satu dekade lalu.
Covid di China terus menyebar meskipun sebagian besar dari 1,4 miliar penduduknya berupaya mencegah penularan dengan mematuhi kebijakan nol-Covid untuk memberantas semua wabah dan mempertahankan kontrol perbatasan yang ketat.
Penguncian telah memperburuk salah satu perlambatan paling tajam dalam pertumbuhan ekonomi yang dialami China dalam beberapa dekade, mengganggu rantai pasokan global, dan dan menimbulkan gejolak di pasar keuangan.
Setelah adanya aksi demonstrasi besar-besaran, pemerintah China mulai mengevaluasi kebijakan nol-Covid dan beberapa hari berikutnya, pemerintah China akhirnya mulai melonggarkan kebijakan pembatan Covid-19.
Namun menjelang pergantian tahun, kondisi Covid-19 semakin mengkhawatirkan. Per 22 Desember lalu. China melaporkan kurang dari 4.000 kasus Covid lokal bergejala baru secara nasional, meski tidak ada temuan akibat Covid baru selama tiga hari berturut-turut. Pihak berwenang telah mempersempit kriteria kematian akibat Covid, yang memicu kritik dari banyak pakar penyakit.
Sementara perusahaan data kesehatan Airfinity yang berbasis di Inggris pekan lalu mengatakan jumlah infeksi di China kemungkinan lebih dari satu juta per hari dengan kematian lebih dari 5.000 per hari, dan ini sangat kontras dari data resmi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan melaporkan belum menerima data dari China tentang rawat inap Covid baru sejak Beijing mencabut kebijakan nol-Covidnya.
Sejak beberapa waktu terakhir, China tiba-tiba mengubah kebijakan, membuat sistem kesehatan yang sudah rapuh tidak siap menghadapinya. Alhasil, rumah sakit berebut tempat tidur dan stok darah, apotek berebut obat-obatan, dan pihak berwenang berlomba untuk membangun klinik baru.
Tak hanya itu, pemerintah juga mulai memvaksinasi lansia. Ini dianggap telat, sebab China baru memvaksinasi lansia tiga minggu lalu.
Tingkat vaksinasi keseluruhan China di atas 90% tetapi tingkat untuk orang dewasa yang telah mendapatkan suntikan booster turun menjadi 57,9%, dan menjadi 42,3% untuk orang berusia 80 tahun ke atas, menurut data pemerintah.
Negara ini memiliki sembilan suntikan Covid yang dikembangkan di dalam negeri dan telah disetujui untuk digunakan. Namun semuanya dianggap kurang efektif daripada vaksin buatan Barat yang menggunakan teknologi mRNA.
TIM RISET CNBC INDONESIA