Dolar Anjlok Lebih Dari 1% Bulan Ini, Rupiah Kok Masih Loyo?
Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah sempat menguat di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) sebelum akhirnya terkoreksi pada pertengahan perdagangan Selasa (27/12/2022). Berlawanan arah dengan pergerakan mayoritas mata uang di Asia.
Mengacu pada data Refinitiv, pada pembukaan perdagangan rupiah terapresiasi 0,06% ke Rp 15.620/US$. Sayangnya, rupiah kembali terkoreksi 0,16% ke Rp 15.655/US$ pada pukul 11:00 WIB.
Analis ternama memprediksikan bahwa setiap bulan Desember, dolar AS akan melemah.
"Sejalan dengan tren musimannya, Desember telah menjadi bulan yang lemah bagi greenback," kata Ahli Strategi ING FX Francesco Pesole dikutip Reuters.
"Perlu diingat bahwa dolar naik setiap empat tahun terakhir di bulan Januari. Pandangan kami untuk awal 2023 masih salah satu pemulihan dolar," tambahnya.
Nampaknya hal tersebut benar adanya, pasalnya indeks dolar AS yang mengukur kinerja dolar AS terhadap enam mata uang dunia lainnya melemah. Di sepanjang bulan ini, indeks dolar AS terkoreksi 1,77% ke level 104.
Pukul 11:00 WIB, indeks dolar AS juga tertekan 0,19%. Membuka peluang penguatan mata uang di Asia.
Namun, potensi inflasi AS kembali meninggi juga kian meningkat, pasalnya pada Desember merupakan hari Natal dan menjelang Tahun Baru, sehingga masyarakat lebih konsumtif. Bahkan, penjualan ritel AS naik 7,6% pada periode 1 November hingga 24 Desember 2022, menurut laporan Master Card pada Senin (26/12/2022).
Peningkatan tersebut lebih tinggi dari pertumbuhan 7,1% yang diperkirakan Mastercard.
Namun, penjualan elektronik turun 5,3% selama periode dua bulan yang lebih luas, menurut laporan Mastercard SpendingPulse. Sementara, penjualan di kategori pakaian jadi dan restoran, masing-masing naik 4,4% dan 15,1%, membantu meningkatkan jumlah keseluruhan.
Penjualan online melonjak 10,6% pada periode tersebut, sedikit lebih rendah dari kenaikan 11% tahun lalu.
Jika masyarakat konsumtif maka ada potensi bahwa inflasi akan meningkat. Padahal angka inflasi AS sudah menunjukkan penurunan pada November 2022.
Inflasi AS per November 2022 berada di 7,1% secara tahunan. Angka inflasi tersebut kian melandai jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya di 7,7% yoy.
Hasil itu sekaligus menandai penurunan inflasi selama 5 bulan berturut-turut. Tak hanya itu, inflasi tersebut lebih rendah dari proyeksi pasar dalam polling Reuters yang memperkirakan IHK turun menjadi 7,3% (yoy).
Padahal, di sepanjang tahun ini, The Fed telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 425 bps sejak Maret 2022.Bahkan, Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 bps sebanyak empat kali berturut-turut tahun ini, mendorong biaya pinjaman ke level tertinggi baru sejak 2008.
Jika angka inflasi AS kembali meningkat, tentu The Fed akan bertindak kembali agresif untuk menaikkan suku bunga acuannya. Ditambah lagi, analis memprediksikan bahwa Fed masih akan terus menaikkan suku bunga acuannya hingga kuartal pertama tahun depan.
The Fed mengindikasikan suku bunga masih akan naik hingga awal tahun depan. Fed dot plot menunjukkan para pejabat elit The Fed memperkirakan suku bunga akan berada di kisaran 5% - 5,25%, artinya masih ada kenaikan 75 basis poin lagi, dengan kemungkinan kenaikan 50 basis poin pada Februari 2023 dan 25 bps sebelum berselang.
Terkoreksinya indeks dolar AS di pasar spot, membuat mayoritas mata uang di Asia sukses menguat. Dolar Singapura dan baht Thailand terapresiasi paling banyak sebesar 0,16% dan 0,12%.
Sayangnya, Mata Uang Garuda menjadi mata uang yang paling tertekan di Asia, sebesar 0,16% di hadapan dolar AS. Disusul oleh rupee India dan yen Jepang yang melemah masing-masing sebesar 0,09% dan 0,04% terhadap dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/aaf)