CNBC Indonesia Research
Saintis Ungkap Cara Ekstrak Nikel dari Tanaman, RI Bisa Coba?

Tim peneliti dari Asutralia, Prancis dan AS telah memfokuskan upayanya untuk meyakinkan dunia bahwa ide tersebut lebih dari sekadar eksperimen karena penasaran belaka.
Dalam penelitiannya di sebidang tanah yang disewa dari sebuah desa pedesaan Malaysia yang berada di pulau Kalimantan, kelompok itu telah membuktikan penggunaan praktis dalam skala kecil. Penelitian ini telah terbit di Jurnal Eksplorasi Geokimia tahun 2019 lalu
Saat ini, tim peneliti tersebut berusaha meningkatkan uji coba terbesar di dunia pada hampir 50 hektar, dengan target utama mereka adalah dilirik industri pertambangan. Dalam sepuluh tahun, para peneliti berharap bahwa permintaan konsumen yang tak terpuaskan akan suplai logam dasar dan mineral langka dapat diisi oleh jenis tambang dari tumbuhan yang lebih ramah lingkungan.
Dilansir The New York Times, salah satu peneliti yang juga merupakan profesor botani di University of Melbourne, Alan Baker, menyebut bahwa 'tanaman metal' tersebut tidak hanya mengumpulkan mineral dari tanah ke dalam tubuhnya tetapi tampaknya menimbun dalam jumlah tinggi.
Alan yang juga merupakan profesor tamu di Sustainable Minerals Institute, Univerity of Queensland, telah meneliti hubungan antara tanaman dan tanah sejak tahun 1970-an. Ia memiliki visi bahwa vegetasi tersebut bisa menjadi pabrik peleburan mineral bertenaga surya yang paling efisien di dunia, sebagai pengganti dari penambangan dan peleburan tradisional yang padat energi dan memiliki potensi besar untuk merusak lingkungan.
Sekarang, setelah berpuluh-puluh tahun di balik gembok dan kunci paten, Dr. Baker melihat potensi ini dapat terbuka lebar.
Dengan paten tidak lagi menjadi masalah, para ilmuwan berharap teknologi ini dapat bermanfaat bagi petani kecil di Malaysia dan Indonesia.
Pendukung phytomining melihat potensi terbesar ada di Indonesia dan Filipina, dua produsen bijih nikel terbesar di dunia. Kedua negara kemungkinan memiliki banyak tanaman pengakumulasi nikel, meski demikian penelitian masih sangat terbatas.
Tanaman ini memiliki potensi untuk mengatasi masalah terbesar industri pertambangan: bekas tambang yang terbengkalai dan mencemari saluran air. Para peneliti beranggapan dengan menanam hiperakumulator di lahan bekas tambang, dapat memulihkan logam yang tersisa berupa cadangan marginal sebagai pendapatan tambahan. Insentif itu dapat membujuk perusahaan untuk berinvestasi dalam rehabilitasi atau pembersihan limbah tambang.
Saat ini, cara paling umum untuk mengekstrak nikel membutuhkan energi yang intensif - sering kali berasal dari batu bara - dan menciptakan tumpukan limbah asam. Sebuah pabrik peleburan biasa menghabiskan biaya ratusan juta hingga miliaran dolar dan membutuhkan bijih yang ketersediaannya semakin langka dengan setidaknya 1,2% nikel, yang biasa ditemukan di lapisan limonit. Meski demikian sebagian besar smelter di Indonesia secara luas menggunakan nikel dengan kadar yang jauh lebih tinggi dari itu.
Selain batasan lain dari sisi komersial, ekonomi dan teknis, ketakutan banyak pihak terkait tanaman hiperakumulator nikel yang mungkin saja sangat produktif adalah terkait pembukaan hutan tropis untuk lahan pertanian tambang.
Jika terjadi kasus ini akan sama seperti yang terjadi pada kelapa sawit, tanaman komersial yang kini mulai memenuhi kawasan yang mulanya merupakan hutan asli di Kalimantan.
Tapi hal tersebut sepertinya tidak mungkin terjadi, menurut pengakuan para peneliti. Daerah dengan potensi fitomining cenderung terbesar di kawasan berumput, dengan sedikit tanaman lain mampu tumbuh di tanah yang dipilih untuk pertanian mineral.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
(fsd/fsd)