CNBC Indonesia Research

Saintis Ungkap Cara Ekstrak Nikel dari Tanaman, RI Bisa Coba?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
26 December 2022 06:35
Bijih Besi (REUTERS/Beawiharta)
Foto: Bijih Besi (REUTERS/Beawiharta)

Jakarta, CNBC Indonesia - Selain memiliki tanah yang subur dan sumber daya alam yang mumpuni, Indonesia juga ternyata memiliki tanaman yang bisa menghasilkan dan menyerap logam berat di tanah melalui rantai makanan secara biologis.

Fakta ini diungkap Pakar Biologi Tumbuhan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Hamim. Menurutnya, ada beberapa jenis tumbuhan yang mampu menyerap logam berat dalam jumlah besar atau hiperakumulator.

Tanaman penghasil logam ini banyak tersebar di wilayah Indonesia bagian timur, khususnya Kalimantan, Sulawesi, Maluku hingga Papua. Daerah tempat tanaman ini berkembang memiliki kandungan logam tinggi seperti tanah ultrabasa.

Nikel merupakan salah satu jenis logam yang pembentukannya terjadi di batuan ultrabasa.

Selama ini, potensi tumbuhan hiperakumulator belum tergarap optimal. Karena itu, perhatian berbagai pihak dibutuhkan agar tanaman-tanaman terkait bisa dimanfaatkan untuk fitoremediasi dan fitomining.

Apa Itu Fitomining?

Fitomining sebenarnya bukan merupakan hal baru. Periset dunia telah lama mengetahui bahwa ada ratusan jenis biota yang berfungsi sebagai hiperakumulator.

Bapak peleburan mineral modern, Georgius Agricola, melihat potensi ini 500 tahun lalu. Dia melebur tanaman di waktu luangnya pada abad ke-16.

Rufus Chaney, seorang ahli agronomi yang bekerja di Departemen Pertanian AS selama 47 tahun, menemukan kata "phytomining" pada tahun 1983 dan memulai percobaan pertama di AS pada tahun 1996. Namanya diabadikan di salah satu tanaman penghisap nikel yang digunakan di salah satu kawasan di Malaysia.

Robert R. Brooks dan Michael F. Chambers, dua peneliti dari departemen ilmu tanah Massey University bersama Larry J. Nicks dan Brett H. Robinson, peneliti asal Nevada, AS, dalam paper bertajuk Phytomining yang terbit di Jurnal Cell Press tahun 1998 menyebut sejumlah tumbuhan dapat mengakumulasi logam 100 kali lipat lebih tinggi dari tumbuhan biasa non-akumulator. Untuk sebagian besar logam batas konsentrasi adalah 1 gram/kg (0,1%) massa kering, kecuali zinc (1%), emas (1 ppm atau 1 gram/ton) dan kadmium (0,01%).

Dalam penelitiannya mereka juga menyebutkan bahwa sebagian besar tanaman tersebut dapat mengumpulkan nikel. Robert dkk menyebut terdapat 300 spesies yang merupakan hiperakumulator nikel.

Proyek pertama fitomining dilakukan oleh biro pertambangan AS di Reno, Nevada menggunakan spesies Streptanthus polygaloides yang banyak ditemukan di wilayah tersebut untuk mengakumulasi nikel. Penelitian yang dilakukan di situs dengan kandungan nikel 0,35% dalam tanah - angka ini jauh di bawah standar industri penambangan - tersebut menyebut bahwa penambang dengan tanaman dapat memperoleh keuntungan US$ 513/hektar.

Penelitian yang mirip juga dilakukan di Italia dengan menggunakan jenis spesies lain dan mampu menghasilkan nikel sebanyak 96 kg/hektar pada wilayah yang mengandung 0,8% nikel.

Beberapa tanaman Bumi memiliki kedekatan yang sangat erat dengan logam, yang mana akar tumbuhan bertindak seperti magnet, organisme ini tumbuh subur di tanah kaya logam yang membuat ratusan ribu spesies tanaman lain tidak dapat bertahan atau mati.

Beberapa hiperakumulator tersebut logamnya dipanen dengan cara mengiris salah batangnya, seperti menyadap karet, dan mengeluarkan cairan getah warna hijau biru. Konsentrat tersebut dapat menghasilkan kadar nikel di atas bijih yang digunakan memasok ke smelter peleburan nikel dunia.

Tim peneliti dari Asutralia, Prancis dan AS telah memfokuskan upayanya untuk meyakinkan dunia bahwa ide tersebut lebih dari sekadar eksperimen karena penasaran belaka.

Dalam penelitiannya di sebidang tanah yang disewa dari sebuah desa pedesaan Malaysia yang berada di pulau Kalimantan, kelompok itu telah membuktikan penggunaan praktis dalam skala kecil. Penelitian ini telah terbit di Jurnal Eksplorasi Geokimia tahun 2019 lalu

Saat ini, tim peneliti tersebut berusaha meningkatkan uji coba terbesar di dunia pada hampir 50 hektar, dengan target utama mereka adalah dilirik industri pertambangan. Dalam sepuluh tahun, para peneliti berharap bahwa permintaan konsumen yang tak terpuaskan akan suplai logam dasar dan mineral langka dapat diisi oleh jenis tambang dari tumbuhan yang lebih ramah lingkungan.

Dilansir The New York Times, salah satu peneliti yang juga merupakan profesor botani di University of Melbourne, Alan Baker, menyebut bahwa 'tanaman metal' tersebut tidak hanya mengumpulkan mineral dari tanah ke dalam tubuhnya tetapi tampaknya menimbun dalam jumlah tinggi.

Alan yang juga merupakan profesor tamu di Sustainable Minerals Institute, Univerity of Queensland, telah meneliti hubungan antara tanaman dan tanah sejak tahun 1970-an. Ia memiliki visi bahwa vegetasi tersebut bisa menjadi pabrik peleburan mineral bertenaga surya yang paling efisien di dunia, sebagai pengganti dari penambangan dan peleburan tradisional yang padat energi dan memiliki potensi besar untuk merusak lingkungan.

Sekarang, setelah berpuluh-puluh tahun di balik gembok dan kunci paten, Dr. Baker melihat potensi ini dapat terbuka lebar.

Dengan paten tidak lagi menjadi masalah, para ilmuwan berharap teknologi ini dapat bermanfaat bagi petani kecil di Malaysia dan Indonesia.

Pendukung phytomining melihat potensi terbesar ada di Indonesia dan Filipina, dua produsen bijih nikel terbesar di dunia. Kedua negara kemungkinan memiliki banyak tanaman pengakumulasi nikel, meski demikian penelitian masih sangat terbatas.

Tanaman ini memiliki potensi untuk mengatasi masalah terbesar industri pertambangan: bekas tambang yang terbengkalai dan mencemari saluran air. Para peneliti beranggapan dengan menanam hiperakumulator di lahan bekas tambang, dapat memulihkan logam yang tersisa berupa cadangan marginal sebagai pendapatan tambahan. Insentif itu dapat membujuk perusahaan untuk berinvestasi dalam rehabilitasi atau pembersihan limbah tambang.

Saat ini, cara paling umum untuk mengekstrak nikel membutuhkan energi yang intensif - sering kali berasal dari batu bara - dan menciptakan tumpukan limbah asam. Sebuah pabrik peleburan biasa menghabiskan biaya ratusan juta hingga miliaran dolar dan membutuhkan bijih yang ketersediaannya semakin langka dengan setidaknya 1,2% nikel, yang biasa ditemukan di lapisan limonit. Meski demikian sebagian besar smelter di Indonesia secara luas menggunakan nikel dengan kadar yang jauh lebih tinggi dari itu.

Selain batasan lain dari sisi komersial, ekonomi dan teknis, ketakutan banyak pihak terkait tanaman hiperakumulator nikel yang mungkin saja sangat produktif adalah terkait pembukaan hutan tropis untuk lahan pertanian tambang.

Jika terjadi kasus ini akan sama seperti yang terjadi pada kelapa sawit, tanaman komersial yang kini mulai memenuhi kawasan yang mulanya merupakan hutan asli di Kalimantan.

Tapi hal tersebut sepertinya tidak mungkin terjadi, menurut pengakuan para peneliti. Daerah dengan potensi fitomining cenderung terbesar di kawasan berumput, dengan sedikit tanaman lain mampu tumbuh di tanah yang dipilih untuk pertanian mineral.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular