
Jreeng! Ratusan Eksportir Ketahuan Bawa Kabur Dolar AS ke LN

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan buka suara terkait adanya ratusan eksportir yang kena sanksi akibat tidak menaruh devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) di dalam negeri.
Kepala Subdirektorat Ekspor Direktorat Teknis Kepabeanan Vita Budhi Sulistyo menjelaskan, pengawasan pelaksanaan pelaporan dan penyimpanan DHE SDA, dilakukan oleh tiga institusi sekaligus. Yakni Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Tugas pengawasan masing-masing institusi pun berbeda. Di mana, Kemenkeu bertugas melakukan pengawasan pelaksanaan atas kegiatan ekspor barang, hak ini di bawah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Kemudian BI melakukan pengawasan atas kewajiban pemasukan DHE SDA.
Kemudian OJK bertugas untuk mengawasi escrow account pada bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing (valas).
"Hasil pengawasan BI dan OJK disampaikan kepada Kementerian Keuangan untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan perundang-undangan," jelas Vita saat ditemui di kantornya kemarin, dikutip Kamis (22/12/2022).
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang DHE dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam, diatur soal mengenai sanksi administratif kepada para eksportir.
Pada Pasal 9 Ayat (1) PP 1/2019 dijelaskan, berdasarkan hasil pengawasan BI dan OJK didapati eksportir tidak memasukkan DHE SDA ke dalam sistem keuangan Indonesia, menggunakan DHE SDA di luar ketentuan, dan/atau tidak membuat/memindahkan escrow account di luar negeri tersebut pada bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valas di dalam negeri, maka eksportir dikenakan sanksi administratif.
"Sanksi administratif berupa denda administratif, tidak dapat melakukan ekspor, hingga pencabutan izin usaha," jelas Vita.
Denda administratif dilakukan oleh Kemenkeu, berdasarkan oleh BI dan OJK. Ada dua jenis pelanggaran sanksi administratif bagi eksportir yang tidak melaporkan DHE-nya di dalam negeri.
Jenis pelanggaran pertama, yakni bagi eksportir yang tidak menempatkan DHE di rekening khusus. Perhitungannya harus membayar 0,5% dari DHE SDA yang belum ditempatkan.
Jenis pelanggaran kedua yakni menggunakan DHE SDA di luar ketentuan penggunaan. Penggunaan DHE yang dimaksud seperti untuk transaksi bea keluar atau penggunaan ekspor lainnya, pinjaman, impor, keuntungan/dividen, atau keperluan lain dari penanaman modal.
Perhitungan untuk jenis pelarangan penggunaan DHE di luar ketentuan yakni 0,25% dari DHE SDA yang digunakan di luar ketentuan.
Vita menjelaskan, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 744/KM/4/2020, terdapat 1.208 pos tarif yang yang harus melaporkan atau memindahkan DHE-nya ke dalam negeri.
"Dari 1.208 pos tarif tersebut sebanyak 180 pos tarif terkait sektor pertambangan, 472 pos tarif dari sektor perkebunan, 190 pos tarif dari sektor kehutanan, dan 366 pos tarif terkait sektor perikanan," jelas Vita.
Adapun ketentuan mengenai kewajiban eksportir untuk menyimpan DHE di dalam negeri tertuang di dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI), yang diatur di dalam PBI Nomor 21/14/PBI/2019. Aturan ini juga mengatur kewajiban penerimaan DHE Non SDA, serta kewajiban pelaporan devisa pembayaran impor.
Dalam aturan BI tentang DHE SDA tersebut, dijelaskan bahwa seluruh DHE SDA wajib diterima melalui bank pada rekening khusus DHE SDA paling lambat tiga bulan setelah adanya pemberitahuan pabean ekspor (PPE).
Jika DHE SDA diterima dalam bentuk uang tunai di dalam negeri, DHE wajib disetorkan ke bank pada rekening khusus DHE SDA paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah adanya PPE.
Berdasarkan aturan tersebut di atas, DJBC mencatat terdapat sekira 13.000 eksportir di dalam negeri saat ini. Dari jumlah tersebut, sejak 2021 hingga 2022, terdapat 216 eksportir yang harus membayar denda administratif.
Ke-216 eksportir tersebut dikenai denda administratif dengan jenis pelanggaran tidak menempatkan DHE di rekening khusus.
Sehingga mereka harus membayar denda administratif dengan perhitungan 0,5% dari DHE yang belum ditempatkan di dalam negeri. Total sanksi DHE SDA yang dihimpun DJBC mencapai Rp 53 miliar yang masuk ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dengan menghitung besaran tarif denda sebesar 0,5% dan total nilai denda sebesar Rp 53 miliar maka DHE yang belum dilaporkan mencapai Rp 10,6 triliun. Nilai tersebut setara dengan US$ 680,14 juta bila dihitung dengan menggunakan kursRp15.585/US$1.
Kendati demikian, dari 216 eksportir yang kena sanksi DHE SDA tersebut, DJBC tidak tahu persis berapa yang sudah membayarkan dendanya kepada negara.
Kepala Seksi Ekpor II Direktorat Teknis Kepabeanan DJBC Eko Handiranto menjelaskan, dasar hukum pengenaan sanksi terhadap eksportir yang melanggar ketentuan DHE SDA di dalam negeri, diatur di dalam PP No. 1 Tahun 2019 .
Kewajiban eksportir untuk memindahkan DHE SDA-nya ke dalam negeri, yakni tiga bulan setelah melakukan ekspor. Dalam hal ini, DJBC melakukan pemberitahuan ekspor barang (PEB) kepada BI dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Dari tiga bulan pemberitahuan PEB kepada BI tersebut, BI kemudian melakukan pemantauan untuk mengecek apakah, para eksportir tersebut sudah melakukan penempatan DHE SDA di dalam negeri atau belum.
Dalam tenggat waktu tiga bulan para eksportir belum juga menempatkan DHE SDA di dalam negeri, BI akan berusaha menghubungi para eksportir yang bersangkutan.
"BI biasanya menghubungi para eksportir melalui e-mail, surat fisik, atau telepon. Ada kadang-kadang perusahaan yang pindah alamat atau ganti. Apalagi PIC (penanggung jawab) ganti. E-mail dan surat tak sampai, sehingga sama BI ditagihkan," jelas Eko.
Kemudian, jika dalam waktu tujuh bulan para eksportir tidak memberikan jawaban atau kabar kepada BI. Baru kemudian BI menyerahkan Penyampaian Hasil Pengawasan (PHP) kepada DJBC.
Adapun data yang dilaporkan BI ke DJBC diantaranya berisi nama eksportir, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), nilai transaksi barang ekspor sampai di atas kapal pelabuhan muat dalam keadaan free on board (F.O.B), nilai DHE yang seharusnya masuk, dan nilai yang dilanggar.
"Dari situ kita jadikan dasar pengenaan sanksi administratif, apakah jenis pelanggaran pertama (0,5% dari DHE yang belum ditempatkan) atau jenis pelanggaran kedua (0,25% dari DHE SDA yang digunakan di luar ketentuan)," jelas Eko.
Pada kesempatan yang sama, Pelaksana Direktorat Teknis Kepabenanan DJBC, Riza Agustian menambahkan, terdapat tiga tahapan untuk memberi peringatan kepada eksportir, sebelum mengenakan sanksi.
Di mana saat BI melakukan pelaporan, DJBC langsung mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penetapan Pungutan (SP3) kepada para eksportir yang melanggar ketentuan DHE SDA.
Para eksportir diberikan tenggat waktu sebulan lebih dari DJBC Kemenkeu untuk melakukan pembayaran denda administratif.
"Setelah mengeluarkan SP3, kita kasih waktu 10 hari (Untuk melakukan pembayaran denda administratif). Setelah itu, mengeluarkan Surat Tagihan I dengan tenggat waktu 1 bulan. Jika belum dibayar juga, kemudian keluar Surat Tagihan II dengan waktu 2 bulan," jelas Riza.
"Di saat Surat Tagihan II terbit, langsung kita reject atau blokir, sehingga para eksportir tidak bisa mengekspor," kata kata Riza lagi. Jika semua tahapan tersebut juga tidak diindahkan oleh para eksportir, maka izin usaha ekspor mereka terancam dicabut.
Penagihan denda administratif kepada para eksportir yang melanggar DHE SDA, dilakukan oleh kantor pelayanan DJBC di masing-masing provinsi.
DJBC mencatat, eksportir yang melanggar tersebar merata di seluruh provinsi Indonesia. "Merata, di Kalimantan ada, Sumatra ada, Jawa juga ada," jelas Riza.
Apabila dalam proses penagihan denda administratif, eksportir ternyata sudah melaksanakan kewajiban DHE SDA, maka mereka berhak untuk menyatakan keberatannya, disertai bukti pendukung yang sah.
Penyampaian bukti pendukung tersebut, dilakukan secara koordinasi antara DJBC dengan BI. Ada dua mekanisme yang bisa dilakukan para eksportir untuk melakukan pembuktian.
"Pertama bisa langsung ke BI; ini loh saya sudah menyampaikan langsung ke rekening khusus. Atau bisa melalui kantor pelayanan, kemudian menyampaikan ke kantor pusat, dan ujungnya disampaikan ke BI juga," jelas Eko.
Jika memang para eksportir tersebut terbukti sudah melakukan kewajibannya, menaruh atau memindahkan DHE SDA di dalam negeri, maka mereka bebas dari pembayaran denda administratif.
Pembayaran denda administratif tersebut langsung dikirimkan kepada eksportir, berdasarkan tagihan atau billing yang disampaikan kantor pelayanan DJBC setempat.
Dana dari pembayaran sanksi eksportir tersebut langsung menjadi dicatatakan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Perlu dicatat, pada 2020 Bank Indonesia memberikan relaksasi soal sanksi pelanggaran ketentuan DHE, sejalan dengan tekanan ekonomi yang ditimbulkan pandemi Covid-19.
Relaksasi batas waktu pelaporan dan pembebasan sanksi kewajiban membayar atas keterlambatan terhadap pelaporan tertentu sebagaimana serta penundaan pengenaan SPE, berlaku sejak 31 Maret 2020 hingga batas waktu yang ditetapkan kemudian.
Adapun sanksi terhadap DHE SDA sudah berlaku kembali pada tahun 2022. Namun tak dijelaskan secara rinci kapan, relaksasi sanksi trsebut dicabut.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan melaporkan, saat ini terdapat 13.000 eksportir di komoditas sumber daya alam. Dari jumlah tersebut, sebanyak 216 eksportir tidak menempatkan DHE SDA-nya di dalam negeri.
Hal tersebut pertama kali disampaikan oleh Direktur Teknis Kepabeanan DJBC, R Fadjar Donny Tjahjadi dalam acara Power Lunch CNBC Indonesia pekan lalu.
"Atas Penyampaian Hasil Pengawasan (dari BI) ini, telah kami terbitkan surat tagihan pelanggaran kepada 216 eksportir. Ini dia melakukan pelanggaran DHE SDA. [...] Jumlahnya kurang lebih Rp 53 miliar," jelas Fadjar, dikutip Kamis (21/12/2022).
Kepala Subdirektorat Ekspor Direktorat Teknis Kepabeanan Vita Budhi Sulistyo menambahkan, ke-216 eksportir dengan jumlah kurang lebih Rp 53 miliar, dihimpun dari lima kali penyampaian hasil pengawasan (PHP) oleh BI.
Vita bilang, 216 eksportir yang kena sanksi DHE SDA tersebut hanya sekira 1,66% dari total keseluruhan eksportir SDA di Indonesia yang jumlahnya mencapai kurang lebih 13.000. Sebanyak 30% eksportir diketahui sudah melakukan pelunasan.
"Relatif kecil, orang eksportir kita ribuan. Bahkan mungkin puluhan ribu. Eksportir SDA kan 13.000-an, jadi relatif kecil," jelas Vita saat ditemui di kantornya kemarin, dikutip Kamis (21/12/2022).
Dari ke-216 eksportir yang tidak menempatkan DHE SDA di dalam negeri tersebut, DJBC mencatat kebanyakan mereka adalah eksportir yang bergerak di sektor pertambangan. Hal ini karena jumlah eksportir di sektor ini lebih banyak dari sektor lainnya.
Berdasarkan data yang dihimpun tersebut di atas, artinya pasokan valas yang dimiliki Indonesia seharusnya besar. Karena banyak eksportir yang patuh melaporkan dan menaruh DHE SDA-nya ke dalam negeri. Namun, kenyataannya banyak dari para eksportir yang hanya sebentar menempatkan DHE SDA-nya di dalam rekening khusus di negeri dan memindahkannya ke luar negeri.
Terbatasnya pasokan dolar di dalam negeri pun dibenarkan oleh Bank Indonesia. Hal ini disampaikan saat konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada September 2022.
Fenomena kekeringan dolar tercermin pada pertumbuhan kredit valas yang melaju kencang, namun tak disertai dengan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) valas.
Bank Indonesia (BI) mencatat, pada September 2022, pertumbuhan kredit tumbuh double digit atau sebesar 18,1%, sementara pertumbuhan penghimpunan DPK valas hanya mencapai 8,4%
"Kredit valas naik jauh lebih cepat ketimbang DPK (Dana Pihak Ketiga) valas. Banyak kredit valas ke brown sector seperti batu bara, CPO (minyak sawit mentah). Mereka nggak bisa lagi dapat dari luar, akhirnya dari dalam," jelas Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti, dikutip Kamis (21/12/2022).
"Memang terasa benar supply itu terbatas, tentunya di pasar itu kita akan berusaha melakukan stabilitas di pasar. Karena pada dasarnya kita punya fundamental dari rupiah itu sendiri," kata Destry lagi.
Banyaknya DHE yang diparkir di luar negeri membuat cadangan devisa Indonesia justru menurun di tengah lonjakan ekspor. BPS mencatat surplus perdagangan Indonesia pada Januari-November 2022 menembus US$ 50,59 miliar.
Cadangan Devisa (Cadev) pada akhir November 2022 tercatat sebesar US$ 134 miliar. Jika menilik posisi cadev per Desember 2021 yang tercatat US$ 144,9 dan cadev per akhir November sebesar US$ 134 miliar maka pada tahun ini cadev sudah terkuras US$ 10,9 miliar.
(cap/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Baik! Eksportir Mulai Rajin Parkir Dolar di Dalam Negeri
