CNBC Indonesia Research

Ada 'Super Thursday' Besok, Waspada Market Crash!

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
14 December 2022 10:40
Jerome Powell (REUTERS/Erin Scott)
Foto: Jerome Powell (REUTERS/Erin Scott)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kamis pekan ini menjadi hari yang cukup dinanti akibat adanya "Super Thursday" yang merujuk pada pengumuman kebijakan moneter tiga bank sentral ternama dunia pada Kamis (15/12/2022).

Tiga bank sentral tersebut yakni Federal Reserve/The Fed, Bank of England (BOE) dan bank sentral Eropa (ECB). Namun, dari ketiga bank sentral utama dunia tersebut, memang The Fed yang akan menjadi fokus utama.

Di sepanjang tahun ini, Fed sudah sangat agresif menaikkan suku bunga acuannya yang dimulai sejak Maret 2022 dengan total kenaikan sebesar 375 bps. Bahkan, Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 bps sebanyak empat kali berturut-turut tahun ini, mendorong biaya pinjaman ke level tertinggi baru sejak 2008.

Adapun, agresifnya The Fed dalam menaikkan suku bunga bertujuan untuk mengendalikan inflasi ke target 2%. Kendati begitu, angka inflasi di AS mulai menunjukkan perlambatan.

Departemen Tenaga Kerja AS mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) per November 2022 kembali melandai ke 7,1% secara tahunan. Melandai dibandingkan dengan bulan sebelumnya di 7,7% yoy.

Hasil itu sekaligus menandai penurunan inflasi selama 5 bulan berturut-turut.

Tak hanya itu, inflasi tersebut lebih rendah dari proyeksi pasar dalam polling Reuters yang memperkirakan IHK turun menjadi 7,3% (yoy).

Angka inflasi AS melandai, kian meningkatkan bahwa Fed akan mulai menaikkan suku bunga acuannya lebih kecil pada bulan ini.

Mengacu pada CME Group, sebanyak 74,7% analis memprediksikan bahwa Fed akan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 bps dan akan mengirim tingkat suku bunga acuan menjadi 4,25%-4,5%.

Namun, pasar tenaga kerja AS masih menunjukkan bahwa ekonomi AS masih kuat, meski Fed sangat agresif menaikkan suku bunga acuannya untuk memperlambat ekonomi. Pada November 2022, angka lowongan pekerjaan mencapai 263.000 pekerjaan baru, lebih tinggi dari ekspektasi pasar yakni 200.000. Sementara, angka pengangguran tetap berada di 3,7%.

Masih ketatnya pasar tenaga kerja AS akan membuat angka inflasi menjadi sulit diturunkan. Pasalnya, ketika angka lowongan pekerjaan lebih banyak daripada orang yang menganggur, maka perusahaan akan menaikkan upah untuk menarik potensial karyawan. Ketika upah tinggi, tentu akan membuat masyarakat akan terus konsumtif. Akibatnya, angka inflasi akan sulit melandai. Artinya ada kemungkinan The Fed masih akan menaikkan suku bunga 75 basis poin, dan itu bisa memicu crash di pasar finansial global.

Jika berkaca pada sejarah, The Fed di bawah kepemimpinan Paul Volcker pernah menaikkan suku bunga acuan sangat agresif sebesar 100 bps pada November 1978 dan Mei 1981 dan menyebabkan pasar saham crash hampir 60%. Bahkan, indeks S&P 500 kehilangan rata-rata 2,4% selama bulan tersebut.

Lantas, bagaimana dengan bank sentral lainnya? Simak di halaman berikutnya>>>>

Di hari yang sama, dua bank sentral ternama lainnya juga dijadwalkan akan mengumumkan kebijakan moneter terbarunya.

Sama halnya, Inggris dan Eropa juga berjibaku dengan angka inflasi yang tinggi. Bahkan, angka inflasi di kedua negara maju tersebut mencapai double digit.

Kantor Statistik Inggris (ONS) mengumumkan angka inflasi per Oktober sebesar 11,1% secara tahunan (year-on-year/yoy) dan menjadi angka inflasi tertinggi sejak Oktober 1981.

Inflasi tersebut naik dari 10,1% yoy pada bulan sebelumnya. Inflasi ini juga di atas ekspektasi para ekonom yang meramalkan inflasi sebesar 10,7%. Tekanan inflasi datang terutama dari jasa perumahan dan rumah tangga yang naik hingga 26,6% yoy, gas 128,9%, dan listrik 65,7%.

Adapun, ada yang sedikit menyelamatkan Inggris dari inflasi yang lebih tinggi, jaminan harga energi yang dipatok pemerintah. Harga makanan dan minuman nonalhokol juga naik 16,2%.

Sementara itu, secara bulanan (month-to-month/mtm), inflasi Inggris pada Oktober 2022 tercatat sebesar 2%, jauh di atas bulan sebelumnya sebesar 0,5% mtm. Inflasi itu juga di atas ekspektasi para ekonom sebesar 1,7% mtm.

Tidak heran, Bank of England (BOE) pun bertindak agresif untuk menaikkan suku bunga acuannya. Di sepanjang tahun ini, BOE tercatat sudah menaikkan suku bunga sebesar 275 bps dan mengirim tingkat suku bunga BOE berada di 3%.

Konsensus analis Trading Economics memprediksikan bahwa BOE akan kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 bps pada pertemuannya di 14 Desember 2022.

Serupa, angka inflasi di Eropa menyentuh 10,6% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Oktober 2022 sekaligus rekor tertinggi sepanjang sejarah pencatatan.

Berdasarkan data yang dirilis EUROSTAT, Kamis (17/11/2022), inflasi tersebut naik dari realisasi bulan sebelumnya sebesar 9,9% yoy. Namun, sedikit di bawah estimasi awal sebesar 10,7%.

Inflasi tersebut jauh di atas target Bank Sentral Eropa yang menargetkan inflasi sebesar 2% pada tahun ini.

Pelemahan mata uang euro dan melambungnya sejumlah harga komoditas menjadi biang keladi tingginya inflasi tersebut.

Inflasi di sektor energi, misalnya, naik hingga 41,5%, diikuti oleh makanan, alkohol, dan rokok sebesar 13,1%.

Sementara itu, inflasi inti tahunan yang tidak termasuk barang dengan harga bergejolak tercatat sebesar 5% yoy, naik dari bulan sebelumnya sebesar 4,8%.

Secara bulanan (month-to-month/mtm), inflasi zona Eropa tercatat sebesar 1,5%, juga naik dari bulan sebelumnya sebesar 1,2% mtm.

Pada Kamis, 14 Desember 2022, bank sentral Eropa (ECB) juga dijadwalkan akan mengumumkan kebijakan moneter terbarunya. Konsensus analis memprediksikan bahwa ECB akan mengekor dua bank sentral lainnya dengan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 bps.

Di sepanjang tahun ini, ECB juga agresif menaikkan suku bunga acuannya sebesar 200 bps dan membawa tingkat suku bunga acuan berada di 2%.

Inflasi tinggi yang terjadi di berbagai negara memang menjadi momok yang menakutkan, sehingga wajar saja bank sentral hampir di seluruh dunia pun kompak mengetatkan kebijakan moneternya.

Namun, kenaikan suku bunga akan berdampak pada meningkatnya volatilitas pasar keuangan global.

Lalu, bagaimana dengan Tanah Air? Simak di halaman selanjutnya>>>

Beberapa waktu yang lalu, petinggi Bank Indonesia (BI) Deputi Gubernur Senior Destry Damayanti menyatakan bahwa kondisi dunia saat ini mengalami VUCA.

VUCA merupakan singkatan dari volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity. Singkatan ini menggambarkan kondisi dunia yang saat ini tengah kita rasakan, dimana terjadi perubahan yang sangat cepat, sulit diprediksi, dipengaruhi banyak faktor, dan realitas menjadi sangat subjektif.

"Jadi ini sudah tumpuk-tumpuk kalau kita bilang global ini mengalami kondisi yang namanya VUCA, volatility tinggi, uncertainty tinggi, complexity sangat kompleks, dan ambiguity," terang Destry, dalam kegiatan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan Bali Nusra, dikutip Senin (12/12/2022).

Senada, Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo juga mengingatkan adanya ancaman global yang akan terjadi pada tahun depan.

Adapun Indonesia akan terkena dampaknya. Hal ini karena Indonesia merupakan negara dengan ekonomi terbuka, sehingga dampak dari gejolak ekonomi global turut membawa dampak pada perekonomian Indonesia.

"Indonesia tak terlepas dari gejolak global yang dapat mengancam tekanan perlambatan ekonomi di Indonesia dan menimbulkan instabilitas pada perekonomian kita," jelas Dody dalam Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Regional Kalimantan, dikutip Selasa (13/12/2022).

Meski begitu, BI menekankan bahwa semua risiko baik itu stagflasi dan resflasi masih bisa dimitigasi. Kuncinya adalah adalah, dengan mengkomunikasikan secara jelas arah kebijakan, sinergi dan inovasi.

Berbeda dengan negara maju tersebut, sejumlah indikator perekonomian dalam negeri terbilang cukup apik. Angka inflasi dalam negeri yang masih cukup terjaga di 5,71% secara year on year (yoy), bahkan angka inflasi per Oktober 2022 lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yaitu 5,95%.

Selain itu, pertumbuhan PDB pada kuartal III 2022, pun sukses melesat ke 5,72% secara tahunan. Neraca perdagangan per Oktober 2022 juga sukses mencetak surplus mencapai US$ 5,67 miliar dan menjadi rekor surplus selama 30 bulan beruntun.

Kendati fundamental perekonomian Tanah Air terbilang mentereng di saat dunia tengah kacau, tapi investor masih tetap harus waspada sebab gejolak ekonomi global tampaknya masih akan berlangsung hingga tahun depan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular