RUU PPSK

BI Wajib Jadi 'Penyelamat' APBN Saat RI Dilanda Krisis

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
09 December 2022 11:00
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam Acara Konferensi Pers: Hasil Rapat Berkala III KSSK 2022 (Tangkapan Layar Youtube Kementerian Keuangan RI)
Foto: Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam Acara Konferensi Pers: Hasil Rapat Berkala III KSSK 2022 (Tangkapan Layar Youtube Kementerian Keuangan RI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau RUU PPSK membuka ruang bagi pemerintah untuk bisa mendapatkan dana segar dari Bank Indonesia (BI) ketika terjadi krisis.

Aturan ini tertuang dalam Pasal 36A RUU itu. Ayat 1 nya berbunyi dalam rangka penanganan Stabilitas Sistem Keuangan yang disebabkan oleh kondisi krisis, Bank Indonesia berwenang membeli Surat Berharga Negara berjangka panjang di pasar perdana.

Selain itu, BI juga berwenang membeli/repo Surat Berharga Negara yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan untuk biaya penanganan permasalahan Bank, dan memberikan akses pendanaan kepada korporasi swasta dengan cara repo Surat Berharga Negara yang dimiliki korporasi/swasta melalui perbankan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan terbukanya ruang untuk BI melakukan berbagi beban atau burden sharing ini di saat krisis secara terus menerus tidak akan memicu risiko integritas atau moral hazard karena ayat 2 nya telah menetapkan kondisi krisis harus diumumkan presiden.

"Definisi krisis nanti harus dideklarasikan. Jadi ini tidak akan menimbulkan moral hazard setiap kali pemerintah nanti ada defisit nanti minta burden sharing, gak seperti itu," ucap Sri Mulyani di kawasan DPR, Jakarta, Kamis (8/12/2022).

Menurut Sri, penetapan ini sebagaimana yang telah diatur saat Indonesia menghadapi krisis yang disebabkan Pandemi Covid-19. Ini tertuang dalam UU Nomor 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.

"Seperti kita lihat di UU Nomor 2 dan Perppu Nomor 1, definisi krisis dideklarasikan oleh Presiden. Sama seperti waktu kita menghadapi pandemi kan bukan menteri keuangan yang bilang ini krisis supaya BI mendanai. Tetapi ada protokol yang sangat ketat, kredibel, dan reliable," tuturnya.

Kendati begitu, dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 itu, burden sharing antara BI dan pemerintah dalam hal pendanaan menghadapi krisis memiliki batas waktu, yakni hanya sampai akhir 2022 saja. Praktik burden sharing ini pun terlaksana melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) I, II, dan III.

Berdasarkan prognosa BI, pembelian SBN di pasar perdana hingga akhir tahun ini akan mencapai sekitar Rp 1.144 triliun setelah selama 3 tahun BI memberikan dukungan pendanaan kepada APBN dalam rangka penanganan Covid-19 maupun pemulihan ekonomi sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.

Namun, Sri menganggap, dengan adanya aturan main burden sharing ini di RUU PPSK, ke depannya pemerintah tidak lagi perlu mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk mencari pendanaan pada masa krisis dari BI.

"Kalau sampai terjadi krisis kita gak harus mengeluarkan Perppu. Mekanisme ini bisa kemudian terbangun tapi juga tetap hati-hati dan prudent. Sehingga tidak menimbulkan abuse, penyalahgunaan atau moral hazard, dan lain-lain," ucap dia.

"Jadi kalau memang ini adalah kriterianya krisis, krisis yang luar biasa, di mana dalam situasi luar biasa, di mana dalam situasi yang tidak biasa, kita harus melihat bagaimana instrumen fiskal dan moneter saling menguatkan," ujar Sri Mulyani.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sri Mulyani Jawab Kritik Soal Omnibus Law Keuangan, Simak!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular