CNBC Indonesia Research

Ini Cara Bank Sentral Brasil "Bantai" Dolar, Bisa Ditiru BI?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
30 November 2022 08:30
Gedung BI
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah masih terus tertekan melawan dolar Amerika Serikat (AS) menjelang berakhirnya 2022. Sepanjang tahun ini, Mata Uang Garuda tercatat merosot 9,3%, melansir data Refinitiv.

Faktanya, sepanjang tahun ini hanya ada 3 mata uang saja yang menguat melawan dolar AS. Rubel Rusia menjadi yang terbaik dengan penguatan lebih dari 20%, disusul peso Meksiko 5% dan real Brasil sekitar 4%.

Mata uang lainnya rontok semua.

Penguatan rubel menjadi mata uang terbaik di dunia sudah tak asing lagi, perang Rusia - Ukraina berdampak pada sanksi negara-negara Barat ke berbagai sektor, alhasil Presiden Vladimir Putin menerapkan kebijakan capital control.

Selain itu, tingginya harga energi plus menurunnya impor akibat sanksi membuat Rusia menikmati surplus neraca perdagangan yang jumbo.

Capital control tentunya tidak bisa diterapkan di Indonesia, sebab akan mempengaruhi persepsi investor. Aliran modal asing berisiko seret.

Sementara itu, real Brasil dan peso Meksiko mampu menguat berkat suku bunga acuan yang tinggi. Imbal hasil (yield) obligasinya pun tinggi, selisih dengan yield Treasury AS menjadi lebar.

Suku bunga acuan di Brasil saat ini sebesar 13,75% dan di Meksiko 10%.

Brasil sudah menaikkan suku bunga sejak Maret 2021 lalu dari 2%. Kali terakhir suku bunga dinaikkan pada Agustus lalu sebesar 50 basis poin. Artinya bank sentral Brasil sejak kuartal I-2021 sudah menaikkan suku bunga sebesar 1175 basis poin.

Kenaikan tersebut tentunya jauh dari The Fed (bank sentral AS) yang sejauh ini menaikkan 375 basis poin. Sementara bank sentral lainnya, termasuk Bank Indonesia (BI)kenaikan suku bunganya lebih sedikit ketimbang The Fed.

Kenaikan sangat agresif yang dilakukan bank sentral Brasil membuat yield obligasi tenor 10 tahun melesat ke atas 13%, yang tentunya menjadi atraktif bagi investor asing untuk mengalirkan modalnya ke Brasil.

Bandingkan dengan yield Treasury AS yang saat ini berada di kisaran 3,7%, selisihnya sangat lebar.

Sementara negara-negara lainnya, termasuk Indonesia selisihnya semakin menyempit. Yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun saat ini berada di kisaran 6,9%, selisihnya dengan Treasury hanya 3,2% saja.

Tingginya suku bunga dan yield di Brasil memicu aksi carry trade, di mana pelaku pasar meminjam dolar AS dan menginvestasikannya di obligasi Brasil. Mata uang real pun menjadi perkasa, sepanjang tahun ini menguat sekitar 4% melawan dolar AS.

Langkah agresif bank sentral Brasil mungkin bisa ditiru oleh Bank Indonesia, tetapi tentunya tidak tepat. Suku bunga yang terlalu tinggi akan membuat perekonomian terpukul, apalagi kali sampai menyentuh dua digit tentunya akan terjadi guncangan yang besar.

Kenaikan suku bunga BI memang jauh lebih rendah dari The Fed, tetapi sudah bisa meredam pelemahan rupiah lebih dalam lagi. Melihat The Fed masih akan menaikkan suku bunga hingga awal tahun depan, BI pun sepertinya akan mengimbangi.

Selain itu, guna menjaga stabilitas rupiah, BI perlu untuk bisa menarik devisa hasil ekspor yang berada di luar negeri.

Seperti diketahui neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus dalam 30 bulan beruntun. Pada periode Januari - Oktober 2022, surplus tercatat lebih dari US$ 45 miliar. Namun, hal tersebut belum tercermin di cadangan devisa Indonesia yang justru terus mengalami penurunan.

Salah satu penyebab devisa tersebut tidak berada di dalam negeri yakni suku bunga valas yang kurang kompetitif. Eksportir pun lebih memilih menempatkan dolar-nya di luar negeri.

Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti juga mengakui devisa tersebut banyak yang parkir di luar negeri.

"Kepatuhan para eksportir untuk menempatkan dananya di rekening khusus sudah sangat baik, kurang lebih 93% itu kita sudah bisa men-trace dana tersebut dari hasil ekspor dengan menggunakan dokumen dari bea cukai. Nah, masalahnya dana tersebut tidak dalam berada di rekening khusus tersebut," kata Destry saat pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG), Kamis (17/11/2022).

Destry menambahkan suku bunga yang kalah kompetitif menjadi masalah yang membuat eksportir banyak memarkir dolarnya di luar negeri.

"Kami lihat dan kami coba telaah, ternyata reward-nya itu atau pun interest rate kalah kompetitif, jadi sebenarnya masalah kompetisi. Pada kondisi normal mungkin diberikan rate relatif di bawah peer kita relatif masih oke, tetapi dengan kondisi sekarang pada saat dolar itu menjadi shortage dan negara-negara lain juga berusaha untuk menarik dolar sehingga dengan rate yang diberikan oleh perbankan saat ini menjadi tidak kompetitif," tambahnya.

Ia menambahkan BI bersama kementerian, lembaga dan perbankan mencoba program khusus yang menarik bagi eksportir guna mau menempatkan valuta asingnya di dalam negeri.


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Segini Harga Jual Beli Kurs Rupiah di Money Changer

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular