Dolar Lesu, Rupiah Tetap Lemah, Tembus Rp 15.727!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah sempat stagnan kemudian kembali terkoreksi terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hingga pada pertengahan perdagangan Selasa (29/11/2022), seiring dengan kinerja mayoritas mata uang di Asia.
Mengacu pada data Refinitiv, pada pembukaan perdagangan rupiah stagnan dan tertahan di Rp 15.720/US$. Sayangnya, rupiah kembali terkoreksi 0,04% ke Rp 15.727/US$ pada pukul 11:00 WIB.
Padahal, indeks dolar AS terpantau terkoreksi 0,41% ke posisi 106,24. Namun, sayangnya rupiah masih belum mampu menguat hari ini.
Analis bank ternama memprediksikan bahwa aksi demo anti-lockdown di China masih membayangi pergerakan mata uang hari ini.
"Saya pikir pergerakan mata uang hari ini akan kembali didorong oleh pandangan tentang kebijakan COVID China, serta sentimen risiko yang luas," kata Ahli Strategi Mata Uang di Commonwealth Bank of Australia Carol Kong dikutip Reuters.
Sementara dari dalam negeri, sentimen penggerak masih terkait dengan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) pada 2023 yang telah umumkan masing-masing wilayah pada Senin (28/11).
Perhitungan UMP 2023 yang sedianya menggunakan PP Nomor 36 Tahun 2021 sesuai UU Cipta Kerja diganti dengan Permenaker No 18/2022. Berdasarkan formula baru, telah ditetapkan kenaikan maksimal 10% dengan perhitungan mencakup variabel inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan variabel α (alfa).
Dengan alfa yang ditetapkan bervariasi oleh masing-masing provinsi, besaran kenaikan UMP juga beragam antara 5-9%. Namun, sejumlah ekonom menilai kenaikan UMP tersebut dampaknya masih sangat rendah ke perekonomian nasional.
Kepala Ekonom BCA David Sumual menjelaskan, kenaikan UMP maksimal 10% pada tahun depan, tidak akan banyak berubah terhadap perekonomian di dalam negeri.
"Dan tahun depan itu kan, faktor based effect dari kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) akan hilang. Jadi, mungkin hanya menyumbang sekira 0,1% ke inflasi," jelas David kepada CNBC Indonesia, Senin (28/11/2022).
"Ke pertumbuhan ekonomi apalagi, paling hanya sekedar mempertahankan daya beli saja, jadi tidak menambah ke pertumbuhan sebenarnya. Malah gak ada impactnya," kata David lagi.
Kendati demikian, jika UMP naik secara berlebihan, David khawatir akan menimbulkan wage-price spiral effect atau efek spiral dari kenaikan upah terhadap harga.
Wage-price spiral effect, kata David sudah terjadi di Eropa. Di mana inflasi sempat menyentuh 8% (year on year/yoy), namun naik lagi menjadi 10% pada Oktober 2022.
Di mana, banyak sektor industri di beberapa negara di Eropa yang upah atau penghasilannya dinaikkan. Sehingga hal ini memicu kenaikan harga barang-barang di Eropa.
Senada, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics Finance (Indef) Ahmad Tauhid kenaikan UMP 10% dinilai cukup moderat alias jalan tengah untuk otoritas dalam mengelola perekonomian ke depan.
Menurut Tauhid dampak kenaikan UMP maksimal 10% pada tahun depan akan sangat rendah dampaknya terhadap laju inflasi nasional.
"Tahun depan, inflasi sebenarnya bukan karena kenaikan upah, tapi disebabkan cost dari kenaikan suku bunga. Suku bunga pinjaman yang mereka jadikan untuk input-input produksi, pembelian barang untuk produksi, alat bahan, dan sebagainya," jelas Tauhid.
Terkoreksinya indeks dolar AS di pasar spot, membuka peluang penguatan mayoritas mata uang di Asia. Dolar Singapura dan yuan China sukses menjadi mata uang terapresiasi paling tajam yang masing-masing sebesar 0,38% dan 0,37% terhadap dolar AS.
Sementara, hanya ringgit Malaysia dan Mata Uang Garuda yang terkoreksi masing-masing sebesar 0,63% dan 0,04% terhadap si greenback.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/aaf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Laju Penguatan Terhenti, Rupiah Dekati Rp 14.800/US$ Lagi