CNBC Indonesia Research

Investor Nyuntik Rp 10 T, Rupiah Masih Keok! Kurang Apa sih?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
23 November 2022 12:48
Pekerja pusat penukaran mata uang asing menghitung uang Dollar AS di gerai penukaran mata uang asing Dolarindo di Melawai, Jakarta, Senin (4/7/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah berbalik melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (23/11/2022), meski masih tipis saja. Sejak kemarin, ketika sukses menghentikan pelemahan 6 hari beruntun, pergerakannya juga tipis-tipis.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,1% ke Rp 15.680/US$. Setelahnya rupiah berbalik melemah 0,06% ke Rp 15.705/US$ pada pukul 12:27 WIB.

Rupiah masih saja melemah meski investor asing sudah mulai masuk ke pasar obligasi.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), sepanjang bulan ini hingga 21 November, investor asing melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder senilai Rp 10 triliun. Porsi kepemilikan asing pun meningkat menjadi Rp 723,33 triliun.

Capital inflow yang terjadi merupakan kabar bagus, jika terus berlanjut bisa menjadi modal bagi rupiah untuk menguat. Rupiah sepanjang tahun ini terpuruk akibat capital outflow di pasar obligasi yang nilanya mencapai Rp 168 triliun.

Tidak hanya di pasar sekunder, lelang obligasi yang dilakukan pemerintah juga kembali diminati investor asing.

Jumlah penawaran dari investor asing pada lelang Surat Utang Negara (SUN), Selasa (23/11/2022) kemarin mencapai Rp 6,4 triliun. Jumlah tersebut naik hampir dua kali lipat dibandingkan lelang sebelumnya yang tercatat Rp 3,62 triliun, dan naik tiga kali lipat dibandingkan pada lelang sebulan sebelumnya yakni 27September 2022 (Rp 1,7 triliun).

Dari total penawaran Rp 6,4 triliun yang datang dari investor asing, pemerintah menyerap utang sebesar Rp 3,68 triliun. Jumlah tersebut menjadi yang tertinggi dalam tujuh lelang terakhir.

Jika dilihat tidak hanya rupiah, tetapi mayoritas mata uang utama Asia melemah pada perdagangan hari ini.

Terpantau, hanya ringgit Malaysia dan peso Filipina yang mampu menguat. Pelemahan rupiah termasuk yang paling kecil ketimbang mata uang lainnya.

Pergerakan tersebut mengindikasikan dolar AS memang masih kuat, meski The Fed (bank sentral AS) kemungkinan akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya setelah tingkat pengangguran mengalami kenaikan dan inflasi yang menurun.

Meski demikian pelaku pasar menanti kepastian, sebab para pejabat The Fed masih berbeda pendapat.

Presiden The Fed wilayah St. Louis, James Bullard, misalnya yang menyebut kenaikan suku bunga sejauh ini hanya memberikan dampak yang terbatas pada inflasi.

Pasar kembali menebak-nebak, apakah The Fed masih akan terus agresif atau mulai mengendur. Hal ini membuat rupiah dan mata uang Asia lainnya sulit menguat.

Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, probabilitas suku bunga naik 50 basis poin menjadi 4,25% - 4,5% pada Desember kini sebesar 75%, naik jauh dari hari sebelum pengumuman data inflasi sebesar 56%.

Seperti diketahui, The Fed sebelumnya sudah menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin empat kali beruntun hingga suku bunga saat ini menjadi 3,75% - 4%.

Namun pasar tidak hanya melihat itu, tetapi seberapa tinggi suku bunga The Fed di tahun depan. Ada yang memperkirakan bisa di atas 5%, atau di bawahnya.


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular