BEI Peringatkan Sri Rejeki Isman Terancam Delisting
Jakarta, CNBC Indonesia - PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mengingatkan kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) untuk segera memperbaiki kinerja keuangannya, setelah dilakukan penghentian sementara perdagangan saham SRIL pada 18 Mei 2021 lalu. Bahkan emiten tersebut terancam didepak dari bursa alias delisting.
BEI menyebut, bursa dapat menghapus pencatatan saham perusahaan tercatat apabila mengalami kondisi, atau peristiwa, yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha, baik secara finansial atau secara hukum, atau terhadap kelangsungan status sebagai perusahaan terbuka, dan tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai.
Selain itu, saham perseroan yang akibat suspensi di pasar reguler dan pasar tunai, hanya diperdagangkan di Pasar Negosiasi sekurang-kurangnya selama 24 bulan terakhir.
"Maka dapat kami sampaikan bahwa saham PT Sri Rejeki Isman Tb. (Perseroan) telah disuspensi di Seluruh Pasar selama 18 bulan dan masa suspensi akan mencapai 24 bulan pada tanggal 18 Mei 2023," tulis manajemen BEI dalam keterbukaan informasi, dikutip Selasa (22/11/2022).
Awal mula persoalan ini adalah tentang gagal bayar utang emiten. Bengkaknya utang SRIL dapat dilihat dari laporan keuangannya pada 2020.
Per Desember 2020, utang bank jangka pendek SRIL tercatat mencapai US$ 277,5 juta padahal di tahun sebelumnya masih US$ 67,6 juta.
Sementara itu SRIL juga memiliki surat utang jangka menengah atau Medium Term Note (MTN) senilai US$ 25 juta. Sedangkan utang bank jangka panjang yang jatuh tempo satu tahun senilai US$ 6,2 juta.
Jika ditotal, kewajiban SRIL yang memiliki beban bunga mencapai US$ 308,7 juta. Beban keuangan SRIL mencapai US$ 75,5 juta. Sedangkan kas dan setara kas perseroan hanya mencapai US$ 187,6 juta.
Dengan gagal bayarnya utang jangka pendek tersebut SRIL harus menghadapi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Tak tanggung-tanggung proses PKPU yang dihadapi ada tiga di jurisdiksi yang berbeda-beda mulai dari Indonesia, Singapura, hingga Amerika Serikat (AS).
Adanya proses PKPU tersebut juga membuat SRIL tak membayar pokok dan bunga utang atas MTN yang dimiliki senilai US$ 25 juta.
Dalam surat yang ditandatangani oleh Direktur Keuangan Sritex Allan Moran Severino disebutkan bahwa tak dibayarkannya MTN ini merupakan dampak dari PKPU yang saat ini dijalankan perusahaan.
Selanjutnya disebutkan juga bahwa perusahaan tidak boleh melakukan pembayaran utang, termasuk MTN yang jatuh tempo pada 18 Mei 2021, kecuali perusahaan melakukan pembayaran utang atas semua utangnya kepada kreditor.
Terakhir, jika mengacu pada laporan keuangan perseroan per September 2021, SRIL tercatat memiliki utang bank jangka pendek senilai US$ 601,9 juta.
Sementara utang bank jangka panjang yang jatuh tempo dalam setahun mencapai US$ 382,4 juta. Kemudian ada juga MTN senilai US$ 25 juta dan terakhir adalah utang obligasi senilai US$ 360,6 juta.
SRIL sendiri merupakan perusahaan yang bergerak di bidang tekstil dan 59% sahamnya dikuasai oleh PT Huddleston Indonesia.
Perusahaan tekstil yang satu ini melakukan aksi korporasi berupa penawaran perdana saham (IPO) pada 17 Juni 2013 dengan menggaet PT Bahana Sekuritas sebagai penjamin emisinya.
Kala itu harga satu unit saham SRIL saat IPO dipatok di Rp 240. Setelah IPO, harga saham SRIL cenderung naik dan turun.
Namun harga saham SRIL sempat mencapai level tertingginya sepanjang sejarah pada 6 Maret 2017. Kala itu harga saham SRIL ditutup di level Rp 496/unit.
Setelah kejadian itu harga saham SRIL tak mampu lagi kembali ke level all time high. Bahkan cenderung turun, terutama sejak Juli 2019. Padahal sebelumnya saham SRIL sempat menjadi saham yang masuk konstituen indeks elit LQ45.
(rob/ayh)