Duh! 'Penyakit' Pelemahan Rupiah Kumat Lagi
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah pada pekan lalu mampu menguat 1,56% melawan dolar Amerika Serikat (AS). Penguatan mingguan tersebut menjadi yang terbesar dalam dua tahun terakhir.
Tetapi, sejak Senin kemarin 'penyakit' pelemahan rupiah kembali kumat. Pada pembukaan perdagangan Selasa (15/11/2022) rupiah melemah tipis 0,03%. Tak berselang lama, depresiasi bertambah menjadi 0,16% ke Rp 15.540/US$.
Bank sentral AS (The Fed) yang mengindikasikan akan terus menaikkan suku bunga menjadi salah satu pemicu kembali melemahnya rupiah.
Hal tersebut diungkapkan salah satu pejabat elit The Fed, Christopher Waller, ia menyebut investor lebay alias bereaksi berlebihan terhadap data inflasi yang menunjukkan penurunan, dan suku bunga akan tetap dinaikkan.
Sementara itu rilis data neraca perdagangan Indonesia bisa menjadi penggerak rupiah Selasa (15/11/2022).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 13 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada Oktober sebesar US$ 4,50 miliar. Surplus jauh lebih rendah dibandingkan September 2022 yang mencapai US$ 4,99 miliar.
Konsensus juga menunjukkan bahwa ekspor akan tumbuh 11,74% (year on year/yoy) sementara impor meningkat 23,62%.
Jika neraca perdagangan kembali mencetak surplus maka Indonesia sudah membukukan surplus selama 30 bulan beruntun. Sebagai catatan, nilai ekspor September 2022 mencapai US$ 24,80 miliar atau melonjak 20,28% (yoy). Impor tercatat US$ 19,81 miliar atau melesat 22,01% (yoy).
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman mengatakan meningkatnya risiko resesi membuat permintaan global melambat. Harga sejumlah komoditas andalan Indonesia juga banyak yang melandai.
"Kenaikan harga komoditas tertahan karena meningkatnya kekhawatiran resesi global. Kenaikan inflasi dan kebijakan moneter yang ketat dikhawatirkan membuat ekonomi global melemah. Ini akan berisiko kepada kinerja ekspor," tutur Faisal, kepada CNBC Indonesia.
Perhatian utama pekan ini tertuju pada Bank Indonesia (BI) yang akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Kamis nanti.
Hasil polling Reuters menunjukkan BI akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 5,25%.
Jika terealisasi, tentunya akan menjadi sentimen positif yang bisa mendongkrak penguatan rupiah pekan ini.
Peluang BI untuk kembali menaikkan suku bunga 50 basis poin menjadi terbuka lebih lebar setelah perekonomian Indonesia tumbuh tinggi di kuartal III-2022.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal bulan ini mengumumkan realisasi produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada kuartal III-2022 tumbuh 5,72% (year on year/yoy). Rilis tersebut sedikit lebih tinggi dari proyeksi pemerintah 5,7%, dan Bank Indonesia (BI) 5,5%.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 14 institusi juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,6%.
Pertumbuhan tersebut cukup tinggi, bahkan jika menghilangkan periode anomali akibat low base effect pada kuartal II-2021, pertumbuhan ekonomi kuartal III-2022 adalah yang tertinggi sejak kuartal IV-2012 atau dalam 10 tahun terakhir di mana ekonomi Indonesia tumbuh 5,87%.
Sehari setelahnya, Bank Indonesia melaporkan IKK Oktober sebesar 120,3, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 117,2. IKK menggunakan angka 100 sebagai ambang abtas antara zona optimis dan pesimis. Di atasnya 100 artinya optimis, semakin tinggi tentunya semakin bagus.
Saat konsumen semakin optimistis, maka belanja bisa mengalami peningkatan yang pada akhirnya mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Seperti diketahui, belanja rumah tangga merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia, di kuartal III-2022 kontribusinya lebih dari 50%.
Dengan konsumsi yang diperkirakan masih kuat, apalagi dengan inflasi yang mulai menurun, BI tentunya bisa kembali menaikkan suku bunga. Pertumbuhan ekonomi mungkin akan sedikit diredam, tetapi bisa menjaga stabilitas nilai tukar rupiah ke depannya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)