Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini, pasar keuangan Tanah Air menunjukkan performa yang ciamik. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menguat dan rupiah sukses melibas dolar Amerika Serikat (AS). Lalu, sentimen apa saja yang patut diperhatikan pada perdagangan pekan depan?
Sepekan terakhir, indeks bursa saham acuan Tanah Air tersebut menguat 0,62% secara point-to-point (ptp), melesat 4,03% sebulan terakhir, dan sudah naik 7,71% secara year-on-year/yoy.
Pada perdagangan Jumat (21/10/2022) kemarin, IHSG ditutup menguat signifikan 1,76% di 7.089,21. IHSG pun kembali menembus level psikologisnya di 7.000 dan konsisten bergerak di zona hijau di sepanjang perdagangan berlangsung sejalan dengan mayoritas indeks saham Asia.
Jika melihat data perdagangan sepekan terakhir, IHSG tercatat 3 kali menghijau, dan 2 kali ambrol. Di mana koreksi yang paling parah terjadi pada perdagangan Kamis (10/11/2022) dengan pelemahan 1,45% mengekor bursa saham Amerika Serikat (AS) yang ambrol lebih dari 2%.
Hal serupa juga terjadi pada Mata uang Garuda yang sukses menguat 1,56% sepekan dan mengakhiri perdagangan Jumat kemarin di Rp 15.490/US$, menguat 1,27% di pasar spot. Dalam sebulan rupiah sudah mampu menguat tipis 0,37% meskipun setahun terakhir, rupiah masih mencatatkan pelemahan hingga 8,7%.
Tim Riset CNBC Indonesia telah merangkum beberapa sentimen untuk perdagangan pekan depan yang patut di perhatikan oleh para pelaku pasar.
Pertama, sentimen yang patut dicermati yakni rilis data Neraca Perdagangan Indonesia per Oktober 2022 yang dijadwalkan akan dirilis pada Selasa (15/11/2022).
Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis neraca perdagangan Indonesia pada September 2022 yang kembali mencetak surplus senilai US$ 4,99 miliar.
Posisi tersebut melampaui prediksi konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 13 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada September sebesar US$ 4,85 miliar.
Ekspor Indonesia pada September 2022 mencapai US$ 24,80 miliar, tumbuh 20,28% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy). Realisasi ekspor merupakan terendah sejak Mei 2022.
Sedangkan, impor pada September 2022 mencapai US$ 19,81 miliar.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto dalam konferensi pers, Senin (17/10/2022) mengatakan bahwa impor alami peningkatan 22,01% dibandingkan September 2021. Akan tetapi peningkatan impor tidak sebesar 2021 yang mencapai 40,31%.
Pada hari yang sama, sentimen kedua sebagai penggerak pasar yakni rilis Indeks Harga Produsen (IHP) AS per Oktober 2022 juga akan dirilis pukul 20:30 WIB. IHP kerap menjadi salah satu rilis data ekonomi yang dinantikan oleh investor global.
Hal tersebut karena bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan menggunakan data IHP sebagai masukan sebelum memutuskan mengambil kebijakan moneter selanjutnya.
Konsensus analis Trading Economics, memprediksikan IHP AS per Oktober 2022 akan melandai dari 8,5% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi 8,3%. Sedangkan, IHP diproyeksikan akan naik 0,5% secara bulanan (month-to-month/mtm) dari 0,4% pada periode sebelumnya.
Sentimen dari Bank Idonesia, hingga Eropa ada di halaman selanjutnya>>>
Sentimen ketiga yakni datang dari Bank Indonesia (BI) yang dijadwalkan akan merilis kebijakan moneter terbarunya pada Kamis (17/11/2022).
Konsensus analis Trading Economics memprediksikan bahwa BI akan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps) dan membawa tingkat suku bunga acuan naik dari 4,75% menjadi 5%.
Sementara tingkat suku bunga Deposit Facility dan suku bunga Lending Facility di proyeksi akan naik yang masing-masing sebesar 25 bps menjadi 4,25% dan 5,75%.
Hal tersebut tampaknya menjadi langkah BI untuk meminimalisir tekanan terhadap pasar keuangan Tanah Air karena Fed diproyeksikan masih akan menaikkan suku bunga acuannya hingga Maret 2023, di mana tingkat suku bunga diprediksi akan mencapai kisaran 5%-5,25%.
Padahal, di sepanjang tahun ini, Fed telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 375 bps, di mana tingkat suku bunga Fed saat ini menjadi 3,75%-4% dan menjadi level tertinggi sejak Januari 2008.
Meski begitu, perekonomian Indonesia menunjukkan kekuatannya di tengah kenaikan suku bunga oleh Fed dan bank sentral lainnya untuk meredam inflasi yang berpotensi mengerek ekonomi dunia ke jurang resesi.
Dengan ekonomi yang kuat, BI tentunya punya ruang untuk menaikkan suku bunga lebih tinggi. Hal ini diperlukan untuk mempertahankan stabilitas nilai tukar rupiah, yang belakangan terpuruk, sekaligus menjaga inflasi akan tidak tinggi.
Keempat, rilis data inflasi dari Inggris dan Eropa yang patut dicermati untuk mengetahui situasi ekonomi dunia.
Pada Rabu (16/11), Kantor Statistik Nasional dijadwalkan akan merilis angka inflasi Inggris per Oktober 2022. Konsensus analis Trading Economics memprediksikan inflasi akan kembali meningkat ke 10,6% secara tahunan (year-on-year/yoy) dari 10,1%.
Inflasi secara bulanan juga akan naik ke 1,7% (month-to-month/mtm) dari sebelumnya di 0,5%.
Di sisi lainnya, ekonomi Inggris telah terkontraksi atau minus 0,2% pada kuartal III-2022. Hal ini memberikan sinyal bahwa akan terjadi resesi pajang di Negeri Raja Charles tersebut.
Melansir CNBC International, Bank sentral Inggris (BOE) memproyeksikan akan terjadinya resesi di Inggris setelah adanya penurunan ekonomi di kuartal III-2022. Angka pengangguran diperkirakan mencapai 6,5% dalam dua tahun ke depan.
Sementara pada Kamis (17/11), EUROSTAT akan merilis angka inflasi Eropa per Oktober 2022. Konsensus analis Trading Economics juga memproyeksikan angka inflasi akan kembali melonjak ke 10,7% dari sebelumnya di 9,9% secara tahunan.
Padahal, inflasi zona Eropa per September 2022 telah mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah pencatatan yang dimulai pada 1991.
Tentu saja, posisi tersebut jauh di atas target bank sentral Eropa (ECB) sebesar 2%. Hal tersebut memperkuat alasan bank sentral untuk terus memperketat kebijakan moneternya, utamanya dengan menaikkan suku bunga. Jika ECB akan kembali agresif, potensi ekonomi Eropa akan masuk ke zona resesi akan meningkat.
Bahkan, ekonom Citibank Helmi Arman memprediksi Eropa akan jauh lebih cepat masuk ke jurang resesi.Seiring dengan tekanan inflasi yang tinggi, resesi Eropa akan terjadi di akhir 2022.
"Ekspektasi kami tahun depan negara-negara Eropa, karena mereka sekarang sedang menghadapi tekanan inflasi yang sangat tinggi dan ketegangan geopolitik, negara-negara Eropa dalam perkiraan kami akan masuk resesi duluan, sepertinya akhir tahun ini sudah ada negara Eropa yang masuk resesi dan lanjut hingga paruh pertama tahun depan," ungkapnya pada kegiatan Konferensi Pers Citi Indonesia, Kamis (10/11/2022).
Lantas, bagaimana dengan perekonomian RI?
Serangkaian data ekonomi yang dirilis sejak awal November menunjukkan bagaimana bagusnya perekonomian Indonesia jauh dari resesi.
Bank Indonesia melaporkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Oktober sebesar 120,3, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 117,2. IKK menggunakan angka 100 sebagai ambang batas antara zona optimis dan pesimis. Di atasnya 100 artinya optimis, semakin tinggi tentunya semakin bagus.
Saat konsumen semakin optimistis, maka belanja bisa mengalami peningkatan yang pada akhirnya mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Seperti diketahui, porsi daya beli masyarakat berkontribusi sebanyak 50% terhadap ekonomi RI. Hal tersebut juga tercermin pada pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2022 yang tumbuh melesat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan realisasi produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada kuartal III-2022 tumbuh 5,72% (year on year (yoy). Rilis tersebut sedikit lebih tinggi dari proyeksi pemerintah 5,7%, dan Bank Indonesia (BI) 5,5%.
"Tren pertumbuhan ekonomi tahunan persisten selama empat kuartal berturut sejak kuartal IV 2021. ini menandakan pemulihan ekonomi terus berlanjut dan semakin menguat," ungkap Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers, Senin (7/11/2022).
Kuatnya perekonomian dalam negeri dapat menjadi bantalan terhadap tekanan dari eksternal termasuk kenaikan suku bunga di negara-negara berkembang yang berpotensi mendorong ekonomi global masuk ke jurang resesi.
TIM RISET CNBC INDONESIA