Ini Penyebab IHSG Mendadak Berbalik Arah Hingga Turun 0,65%
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah pada penutupan perdagangan sesi I Selasa (1/11/2022), Pasca rilis data inflasi Indonesia periode Oktober. Pelemahan indeks acuan Tanah Air juga terjadi di tengah melemahnya Wall Street pada perdagangan semalam.
Indeks acuan Tanah Air sejatinya lompat 0,42% ke 7.128,14 pagi tadi. Namun, indeks mendadak berbalik arah dan ditutup di zona merah dengan koreksi 0,65% atau 46,24 poin, ke 7.052,65 pada penutupan perdagangan sesi pertama pukul 11:30 WIB.
Nilai perdagangan tercatat turun ke Rp 7,66 triliun dengan melibatkan lebih dari 13 miliar saham yang berpindah tangan 814 kali.
Melihat pergerakan perdagangan, selang 9 menit setelah pembukaan IHSG terpantau menguat tipis 0,03% ke 7.100,84. Memasuki pukul 09:33 WIB indeks terpantau berbalik arah melamah 0,05% ke 7.095,25, sejak itu indeks terus melemah hingga penutupan perdagangan sesi I dan gagal mempertahankan level 7.100.
Level tertinggi berada di 7.128,14 sesaat setelah perdagangan dibuka, sementara level terendah berada di 7.044,95 sesaat sebelum perdagangan ditutup. Mayoritas saham siang ini terpantau mengalami penurunan.
Statistik perdagangan mencatat ada 326 saham yang melemah dan 188 saham yang mengalami kenaikan, serta sisanya sebanyak 178 saham stagnan.
Saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjadi saham yang paling besar nilai transaksinya siang ini, yakni mencapai Rp 549,5 miliar. Sedangkan saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) menyusul di posisi kedua dengan nilai transaksi mencapai Rp 492 miliar dan saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) di posisi ketiga sebesar Rp 359,1 miliar.
Perlemahan IHSG terjadi seiring dengan melemahnya bursa saham Amerika Serikat (AS) di perdagangan terakhir Oktober. Meski demikian, Wall Street mencatat rebound yang cukup signifikan di Oktober, sekaligus mengakhiri pelemahan 2 hari beruntun.
Pada Senin (31/10/2022), indeks Dow Jones berakhir melemah 0,4% ke 32.732,95, kemudian S&P 500 0,8% ke 3.871,98 dan Nasdaq merosot 1,% ke 10.988,15.
Sepanjang Oktober, indeks Dow Jones tercatat melesat nyaris 14%, menjadi kenaikan bulanan terbesar sejak 1976. S&P 500 dan Nasdaq masing-masing menguat 8% dan 4% bulan ini.
Para pelaku pasar kini tengah fokus menanti pengumuman kebijakan moneter The Fed pada Kamis (3/10/2022) dini hari waktu Indonesia.
Bank sentral palingpowerfuldi dunia ini diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 3,75% - 4%.
Pasar sudah jauh-jauh hari mengantisipasi kenaikan tersebut, jika The Fed juga memberi kejutan, tentunya akan berdampak positif ke pasar finansial global, termasuk Indonesia. Pun, jika tidak ada kejutan, pasar akan melihat bagaimana proyeksi kenaikan ke depannya, apakah akan dikendurkan juga, mengingat pendapat para pejabat The Fed sudah terbelah.
Presiden The Fed San Francisco Mary Daly merupakan salah satu pejabat yang menyuarakan keinginan agar The Fed bisa mengendurkan laju kenaikan suku bunga. Menurutnya, pelonggaran kebijakan diperlukan untuk mencegah ekonomi AS melambat lebih dalam. Ini tentunya juga akan berpengaruh terhadap Indonesia.
Dari dalam negeri, ada kabar baik dari S&P Global pagi tadi melaporkanpurchasing managers' index(PMI) manufaktur Indonesia tumbuh 51,8 pada Oktober. Meski turun cukup dalam dari bulan sebelumnya 53,7 tetapi masih berada di atas 50. Angka di atas 50 artinya ekspansi, sementara di bawahnya adalah kontraksi.
Jika dilihat lebih detail, laporan S&P global menyatakan tingkat keyakinan bisnis naik ke level tertinggi sejak Maret. Hal ini tentunya menjadi kabar yang sangat bagus di tengah isu resesi dunia, nilai tukar rupiah yang terpuruk dan Bank Indonesia (BI) yang terus mengerek suku bunga acuannya dalam 3 bulan beruntun sebesar 125 basis poin menjadi 4,75%.
Saat suku bunga acuan naik, berisiko menghambat ekspansi dunia usaha, sebab suku bunga kredit, baik investasi maupun modal kerja, akan mengalami kenaikan. Kenaikan tingkat keyakinan bisnis dalam kondisi tersebut memberikan harapan ekspansi sektor manufaktur akan terus berlanjut. Kabar ini sukses membuat indeks Acuan Tanah Air menghijau meski sesaat.
Namun IHSG tak bisa mempertahankan posisinya di zona hijau. Terlebih lagi, pasca Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data inflasi periode Oktober 2022 mencapai 5,71% secara year on year (yoy), lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yaitu 5,95%.
"Inflasi di Oktober ini terlihat mulai melemah. Pada Oktober 2022 terjadi inflasi sebesar 5,71%," kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa (Disjas) BPS, Setianto dalam konferensi pers, Selasa (1/11/2022)
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi memperkirakan inflasi Oktober menembus 0,08% dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/mtm).
Adapun inflasi bulanan Oktober jauh lebih kecil dibandingkan yang tercatat pada September yakni 1,17% (mtm). Hasil polling juga memperkirakan inflasi secara tahunan (year on year/yoy) akan menembus 5,95% atau stagnan dibandingkan pada September yang juga tercatat 5,95%.
Polling CNBC juga sejalan dengan proyeksi Bank Indonesia (BI). Berdasarkan Survei Pemantauan Harga pada minggu IV Oktober 2022, BI memperkirakan inflasi Oktober menembus 0,05% (mtm).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aum)