
Rupiah 'Jiper' Jelang Rapat The Fed, Tumbang Lawan Dolar AS

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (31/10/2022), pelemahan mata uang Garuda terjadi di tengah kekhawatiran pelaku pasar terkait rilis beberapa data ekonomi penting pekan ini.
Mengacu pada data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,11% ke Rp 15.565/US$. Kemudian, rupiah melanjutkan pelemahannya sebesar 0,24% ke Rp 15.585/US$ pada pukul 11:10 WIB.
Pada penutupan perdagangan rupiah tembus ke Rp 15.595/US$ melemah 0,3% di pasar spot. Rupiah masih saja belum beranjak dari level tertingginya selama 2,5 tahun terakhir. Artinya, sentimen negatif masih terus membayangi pasar keuangan tanah Air.
Sebenarnya pasar keuangan global belum benar-benar kondusif. Isu resesi di tahun 2023 masih terus dihembuskan oleh berbagai pihak. Kekhawatiran soal resesi bukan tanpa alasan. Di saat inflasi masih naik, bank sentral terutama negara-negara Barat masih agresif dalam menaikkan suku bunga acuan.
Apalagi pekan ini, fokus utama pelaku pasar tentunya tertuju pada pengumuman kebijakan moneter pada Kamis (3/11/2022) dini hari waktu Indonesia. Bank sentral pimpinan Jerome Powell ini diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 3,75% - 4%.
Asal tahu saja, Fed sudah menaikkan suku bunga acuan sejak Maret 2022 hingga September 2022 sebesar 300 bps. Suku bunga dikerek naik dari 0,25% menjadi 3,25%. Apabila Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bps lagi maka suku bunga acuan akan berada di 4% untuk bulan November 2022.
Meski demikian, rupiah masih memiliki peluang untuk menguat, sebab pelaku pasar sudah mengantisipasi kenaikan tersebut jauh-jauh hari. Artinya, posisi rupiah saat ini sebenarnya sudah price in dengan kenaikan tersebut.
Rupiah berpeluang menguat seandainya The Fed mengindikasikan akan mulai mengendurkan laju kenaikan suku bunganya. Apalagi, beberapa pejabat The Fed juga mulai mengungkapkan keinginan tersebut, dan bank sentral Kanada (Bank of Canada/BoC) sudah lebih dulu melakukannya.
Presiden The Fed San Francisco Mary Daly adalah salah satu pejabat yang menyuarakan keinginan agar The Fed bisa mengendurkan laju kenaikan suku bunga. Menurutnya, pelonggaran kebijakan diperlukan untuk mencegah ekonomi AS melambat lebih dalam.
"Pasar sudah mem-priced in kenaikan 75 bps lagi. Namun, saya ingin mengingatkan jika kenaikan suku bunga sebesar 75 bps tidak akan selamanya. Kita harus memastikan untuk tidak mengetatkan kebijakan terlalu ketat. Perang, perlambatan ekonomi Eropa, dan kenaikan suku bunga global akan berdampak ke ekonomi AS," tutur Daly, berbicara dalam sebuah pertemuan yang diselenggarakan Universitas Berkeley California, seperti dikutip dari Reuters.
Awal pekan ini investor memang cenderung memasang mode wait and see. Selain The Fed, rilis data inflasi Indonesia Selasa besok juga akan menjadi penggerak rupiah.
Hasil polling Reuters menunjukkan inflasi pada bulan Oktober tumbuh 6%year-on-year (yoy), naik dari bulan sebelumnya 5.95%. Jika terealisasi, maka inflasi tersebut akan menjadi yang tertinggi dalam 7 tahun terakhir. Semakin tinggi inflasi tentunya akan menekan rupiah, tetapi bisa juga menjadi sentimen positif jika Bank Indonesia (BI) meresponnya dengan kembali menaikkan suku bunga.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aum/aum)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer