Cuma STI yang Happy Ending, Bursa Asia Lainnya Ditutup Ambles
Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik berakhir di zona merah pada perdagangan Jumat (28/10/2022) akhir pekan ini, setelah sempat menghijau dalam beberapa hari terakhir.
Hanya indeks Straits Times Singapura yang ditutup di zona hijau, bahkan melesat pada hari ini. Indeks Straits Times melesat 1,46% ke posisi 3.059,19.
Sedangkan sisanya ditutup di zona merah. Indeks Nikkei 225 Jepang ditutup merosot 0,88% ke posisi 27.105,199, Hang Seng Hong Kong ambruk 3,66% ke 14.863,06, Shanghai Composite China ambles 2,25% ke 2.915,93, ASX 200 Australia terkoreksi 0,87% ke 6.785,7, KOSPI Korea Selatan tergelincir 0,89% ke 2.268,4, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpangkas 0,5% menjadi 7.056,04.
Dari Jepang, bank sentral (Bank of Japan/BoJ) kembali mempertahankan suku bunga acuannya di level rendah, yakni minus 0,1%. Sikap BoJ yang masih dovish ini terjadi di tengah sikap hawkish mayoritas bank sentral di dunia karena inflasi yang masih tinggi.
Hal ini sesuai dengan prediksi pasar dalam polling Reuters yang memperkirakan bank sentral Negeri Sakura masih akan dovish.
Selain itu, BoJ juga akan membeli sejumlah obligasi pemerintah negaranya untuk menjaga imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun tetap berada di sekitar 0%.
"BoJ akan mendukung pembiayaan, terutama dari perusahaan, dan menjaga stabilitas di pasar keuangan, dan tidak akan ragu untuk mengambil langkah-langkah pelonggaran tambahan jika perlu," kata BoJ.
Secara terpisah, pejabat Jepang diperkirakan akan mengungkap program stimulus baru senilai lebih dari 29 triliun yen (US$ 200 miliar).
Selain itu, data tingkat pengangguran di Jepang pada periode September 2022 juga telah dirilis pada hari ini, di mana hasilnya menunjukkan kenaikan menjadi 2,6%, berdasarkan data dari Biro Statistik Jepang.
Angka ini lebih tinggi sedikit dari prediksi pasar dalam survei Reuters yang memperkirakan tingkat pengangguran di Jepang tak berubah dari periode Agustus lalu, yakni di 2,5%.
Pelaku pasar di Asia-Pasifik juga cenderung merespons negatif dari data pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang terpantau tumbuh pada kuartal III-2022.
Produk Domestik Bruto (PDB) AS dilaporkan tumbuh 2,6% pada periode Juli - September lalu. Sementara pada dua kuartal sebelumnya, PDB tercatat terkontraksi 1,6% dan 0,6%, artinya secara teknis sudah mengalami resesi.
Dengan PDB yang tumbuh di kuartal III-2022, artinya AS lepas dari resesi. Tetapi, hal ini tidak serta merta disambut baik oleh para pelaku pasar. Sebab, dengan PDB yang tumbuh lebih tinggi dari ekspektasi Wall Street 2,3%, ada kemungkinan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan terus agresif menaikkan suku bunga.
The Fed sepanjang tahun ini kenaikannya sebesar 300 basis poin (bp), menjadi 3% - 3,25% dan masih akan terus berlanjut.
Pada November nanti, bank sentral paling powerful di dunia ini diperkirakan akan menaikkan lagi sebesar 75 bp menjadi 3,75% - 4%. Tidak cukup sampai di situ, kenaikan masih akan terus dilakukan hingga awal tahun depan.
Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat ada probabilitas sebesar 43% suku bunga The Fed berada di level 4,75% - 5% pada Februari 2023.
Meski demikian, Wall Street Journal (WSJ) pada pekan lalu melaporkan adanya "perpecahan" di tubuh The Fed.
Beberapa pejabat The Fed secara terang-terangan juga sudah mengemukakan perbedaan pendapatnya.
Presiden The Fed San Francisco Mary Daly adalah salah satu pejabat yang menyuarakan keinginan agar The Fed bisa mengendurkan laju kenaikan suku bunga. Menurutnya, pelonggaran kebijakan diperlukan untuk mencegah ekonomi AS melambat lebih dalam.
"Pasar sudah mem-priced in kenaikan 75 bp lagi. Namun, saya ingin mengingatkan jika kenaikan suku bunga sebesar 75 bp tidak akan selamanya. Kita harus memastikan untuk tidak mengetatkan kebijakan terlalu ketat. Perang, perlambatan ekonomi Eropa, dan kenaikan suku bunga global akan berdampak ke ekonomi AS," tutur Daly, berbicara dalam sebuah pertemuan yang diselenggarakan Universitas Berkeley California, seperti dikutip dari Reuters.
Investor menanti kepastian ke mana arah kebijakan The Fed, apakah masih tetap agresif, atau mulai mengendur.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)