Abaikan PDB AS, IHSG Sesi I Berakhir Di Zona Merah!

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
28 October 2022 11:40
Ilustrasi Bursa (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Bursa (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir di zona merah pada penutupan perdagangan sesi I Jumat (28/10/2022), di tengah bervariasinya bursa saham Amerika Serikat (AS) kemarin setelah merespon data pertumbuhan ekonomi AS pada periode kuartal III-2022.

Indeks acuan Tanah Air dibuka stagnan di posisi 7.091,76 dan ditutup di zona merah dengan koreksi 0,61% atau 43,54 poin, ke 7.048,22 pada penutupan perdagangan sesi pertama pukul 11:30 WIB. Nilai perdagangan tercatat naik ke Rp 7,4 triliun dengan melibatkan lebih dari 15 miliar saham yang berpindah tangan 730 kali.

Melihat pergerakan perdagangan, 2 menit berselang setelah pembukaan, IHSG berhasil menembus level psikologis 7.100. Namun selang 20 menit itu IHSG langsung melemah 0,24% de 7.075,24. Pukul 10:30 WIB indeks terpantau turun 0,63% ke 7.046,83 dan terus konsisten berada di zona merah hingga penutupan perdagangan sesi I.

Level tertinggi berada di 7.100,81 sesaat setelah perdagangan dibuka, sementara level terendah berada di 7.039,24 sekitar pukul 11:05 WIB. Mayoritas saham siang ini terpantau mengalami penurunan.

Statistik perdagangan mencatat ada 327 saham yang melemah dan 190 saham yang mengalami kenaikan, serta sisanya sebanyak 161 saham stagnan.

Saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) menjadi saham yang paling besar nilai transaksinya siang ini, yakni mencapai Rp 415,2 miliar. Sedangkan saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI)menyusul di posisi kedua dengan nilai transaksi mencapai Rp 358,6 miliar dan saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) di posisi ketiga sebesar Rp 255,3 miliar.

Perlemahan IHSG terjadi di tengah bervariasinya bursa saham AS, Wall Street pada perdagangan Kamis kemarin, setelah dirilisnya data pertumbuhan ekonomi AS pada periode kuartal III-2022.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup menguat 0,61% ke posisi 32.033,28. Namun, indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite kembali ditutup di zona merah. S&P 500 ditutup melemah 0,61% ke 3.807,3 dan Nasdaq ambles 1,63% menjadi 10.792,67.

Produk Domestik Bruto (PDB) AS dilaporkan tumbuh 2,6% pada periode Juli - September lalu. Sementara pada dua kuartal sebelumnya, PDB tercatat terkontraksi 1,6% dan 0,6%, artinya secara teknis sudah mengalami resesi.

Dengan PDB yang tumbuh di kuartal III-2022, artinya AS lepas dari resesi. Tetapi, hal ini tidak serta merta disambut baik oleh para pelaku pasar. Sebab, dengan PDB yang tumbuh lebih tinggi dari ekspektasi Wall Street 2,3%, ada kemungkinan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan terus agresif menaikkan suku bunga.

The Fed sepanjang tahun ini kenaikannya sebesar 300 basis poin (bp), menjadi 3% - 3,25% dan masih akan terus berlanjut.

Pada November nanti, bank sentral paling powerful di dunia ini diperkirakan akan menaikkan lagi sebesar 75 bp menjadi 3,75% - 4%. Tidak cukup sampai di situ, kenaikan masih akan terus dilakukan hingga awal tahun depan.

Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat ada probabilitas sebesar 43% suku bunga The Fed berada di level 4,75% - 5% pada Februari 2023.

Meski demikian,Wall Street Journal(WSJ) pada pekan lalu melaporkan adanya "perpecahan" di tubuh The Fed.

Beberapa pejabat The Fed secara terang-terangan juga sudah mengemukakan perbedaan pendapatnya.

Presiden The Fed San Francisco Mary Daly adalah salah satu pejabat yang menyuarakan keinginan agar The Fed bisa mengendurkan laju kenaikan suku bunga. Menurutnya, pelonggaran kebijakan diperlukan untuk mencegah ekonomi AS melambat lebih dalam.

"Pasar sudah mem-pricedin kenaikan 75 bp lagi. Namun, saya ingin mengingatkan jika kenaikan suku bunga sebesar 75 bp tidak akan selamanya. Kita harus memastikan untuk tidak mengetatkan kebijakan terlalu ketat. Perang, perlambatan ekonomi Eropa, dan kenaikan suku bunga global akan berdampak ke ekonomi AS," tutur Daly, berbicara dalam sebuah pertemuan yang diselenggarakan Universitas Berkeley California, seperti dikutip dari Reuters.

Inilah yang membuat para pelaku pasar menanti kepastian ke mana arah kebijakan The Fed, apakah masih tetap agresif, atau mulai mengendur.

Meskipun ekonomi AS mulai tumbuh, masih ada tantangan besar yang terus menghantui AS. Inflasi yang tinggi, pengetatan likuiditas, hingga konflik geopolitik Ukraina dan Rusia yang belum usai patut menjadi tanda waspada bagi AS dan negara-negara lainnya.

Sejumlah lembaga internasional memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2023 berada pada kisaran 2,3%-2,9%. Turun dari estimasi tahun ini, di kisaran 2,8%-3,2%. Penurunan harga dan permintaan komoditas dunia tetap menjadi sinyal berbahaya bagi negara-negara di dunia.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aum/aum) Next Article IHSG Balas Dendam, tapi Apa Kuat ke 7.000 Lagi?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular