Manfaatkan "Perpecahan" The Fed, Rupiah Menguat Lagi!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Jumat, 28/10/2022 09:17 WIB
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan Jumat (22/10/2022). "Perpecahan" yang terjadi di tubuh bank sentral AS (The Fed) menjadi salah satu pemicu penguatan rupiah. Rupiah kini menuju penguatan 3 hari beruntun.

Melansir data Refinitiv, rupiah menguat 0,06% ke Rp 15.555/US$ saat pembukaan perdagangan. Apresiasi rupiah bertambah menjadi 0,16% ke Rp 15.540/US$ pada pukul 9:05 WIB.

Seperti diketahui, ekonomi AS pada kuartal III-2022 tumbuh 2,6% dibandingkan kuartal sebelumnya.Dengan produk domestik bruto (PDB) yang tumbuh di kuartal III-2022, artinya Amerika Serikat lepas dari resesi.


Pada dua kuartal sebelumnya, PDB AS mengalami kontraksi 1,6% dan 0,6%, secara teknis disebut mengalami resesi.

Dengan PDB yang tumbuh lebih tinggi dari ekspektasi Wall Street 2,3%, ada kemungkinan bank sentral AS (The Fed) akan terus agresif menaikkan suku bunga.

The Fed diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin pada November nanti menjadi 3,75% - 4%. Namun, setelahnya banyak yang melihat bank sentral pimpinan Jerome Powell ini akan mulai mengendur.

Sebabnya, ada risiko perekonomian AS akan kembali mengalami double dip recession. Kontraksi PDB dalam 2 kuartal sebelumnya secara teknis sudah disebut resesi. Namun, resesi di awal tahun ini ringan, bahkan mungkin belum terasa sebab pasar tenaga kerja AS masih sangat kuat, tetapi yang parah akan datang.

Wall Street Journal (WSJ) melaporkan beberapa pejabat The Fed mulai mengisyaratkan keinginan mereka untuk memperlambat laju kenaikan segera.

"Artikel Wall Street Journal yang menyebutkan laju kenaikan suku bunga sedang dipertimbangkan oleh para pelaku pasar," kata Daniel Ghali, ahli strategi komoditas di TD Securities, dikutip dari Reuters Jumat lalu.

Presiden The Fed San Francisco Mary Daly adalah salah satu pejabat yang menyuarakan keinginan agar The Fed bisa melonggarkan kebijakan hawkish-nya.Menurutnya, pelonggaran kebijakan diperlukan untuk mencegah ekonomi AS melambat lebih dalam.

"Pasar sudah mem-priced in kenaikan 75 bps lagi. Namun, saya ingin mengingatkan jika kenaikan suku bunga sebesar 75 bps tidak akan selamanya. Kita harus memastikan untuk tidak mengetatkan kebijakan terlalu ketat.Perang, perlambatan ekonomi Eropa, dan kenaikan suku bunga global akan berdampak ke ekonomi AS," tutur Daly, berbicara dalam sebuah pertemuan yang diselenggarakan Universitas Berkeley California, seperti dikutip dari Reuters.

"Perpecahan" pendapat dalam tubuh The Fed tersebut memunculkan ekspektasi The Fed akan mulai mengendur. Apalagi, bank sentral Kanada (Bank of Canada/BoC) sudah melakukannya.

Rabu lalu, bank sentral Kanada (Bank of Canada/BoC) menaikkan suku bunga untuk keenam kalinya di tahun ini. BoC bersama The Fed menjadi bank sentral yang paling agresif menaikkan suku bunga guna meredam inflasi.

Tetapi, BoC menaikkan suku bunga 50 basis poin menjadi 3,5%, lebih rendah dari ekspektasi pasar 75 basis poin.

BoC bahkan mengatakan, periode kenaikan suku bunga sebentar lagi akan berakhir, sebab perekonomiannya diperkirakan akan stagnan dalam 3 kuartal ke depan.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: IHSG Menguat, Pasar Modal RI Masih Jadi Pilihan Investor